Pages

Tuesday, November 30, 2010

Ketika Garam Mengeluh

We are small but powerful, just as a salt. There's no need to be big.
"Aku benci menjadi kecil", keluh garam suatu hari kepada merica. "Mengapa aku harus dikekang dan kecil? Bukankah yang berguna harus selalu harus besar?"

Merica lalu menjawab,"Bagaimana jika aku mengajakmu untuk berkeliling waktu untuk mungkin, menghiburmu barang sebentar? Kita bisa melihat-lihat dirimu di zaman dahulu." 

Garam sangat senang. Ia menyukai petualangan. Ia segera mengikuti merica yang pergi, meluncur dari meja dapur ke lantai. Ketika ia mulai meluncur, pemandangannya mulai kabur. Ia kebingungan. 

Segera, ia melihat banyak orang tua berlalu-lalang. Ia melihat sebuah batu yang sebesar kepalan tangan, seperti kristal, dijinjing oleh seorang wanita tua. Akan tetapi, ia melihat pula seorang lain tampak menginjak-injak barang yang hampir sama dengan barang yang dibawa oleh wanita tua tadi, hanya lebih kecil. Garam semakin kebingungan. Dimanakah dia? Apakah itu? Mengapa itu diinjak dan yang lain tidak? Dan banyak pertanyaan lagi.

"Kita ada di pasar," suara merica tiba-tiba muncul seperti jawaban bagi semua pertanyaannya ketika ia tiba di sini. "Di sana yang kamu lihat ialah garam pada zaman dahulu. Mereka besar dan bulat, terkadang tak berbentuk. Orang menggunakannya dengan mencelupnya dengan tali yang diikat di atasnya ke makanan yang dimasaknya. Dengan itu, masakan akan  terasa asin. Tetapi, garam ini bukan dapat habis, melainkan dapat tawar. Jika ia tawar, orang akan segera menginjak-injaknya, lalu membuangnya. Namun tenang, namanya bukan lagi garam saat itu, tetapi hanya sampah."

"Oh." Garam tercengang. Dulu ia sangat besar. Tetapi semakin ia besar, ia semakin bisa untuk dibuang dan diinjak saat keadaannya masih besar, bisa terlihat. Betapa malunya kakek moyangnya saat itu, pikirnya. "Lebih baik aku kecil saja deh," ucapnya perlahan.

"Ayo kita lanjutkan perjalanannya."

Mereka berjalan lagi ke suatu rumah kecil. Terlihat halaman yang hijau. Tanpa disadari, mereka telah kembali. Terlihat bahwa semua orang dalam rumah itu kewalahan.

"Mereka kehilanganmu." Suara merica memecahkan keramaian.

Garam dan merica pelan-pelan memasuki dapur. Garam langsung pergi ke tempat asalnya.

Mereka langsung mengambil garam itu, lalu memasukkannya kedalam sebuah masakan. Tiba-tiba, masakan itu sudah dihidangkan. Waktu terasa terhenti sementara mereka sibuk memakan makanan yang sudah diberi garam itu. Wajah mereka tersenyum selagi mereka menyelesaikan makanan itu.

"Aku merasa lebih baik," ujar garam. Ia tersenyum.


Well, mungkin ada beberapa yang udah baca cerita ini. Yep, ini buatanku sendiri, sudah lamaaa sekali. Mungkin ini waktu pertama kali kenal dunia menulis. Pokoknya, gitu deh. Tapi, entah kenapa, ini selalu jadi favoritku. Dibaca ya! Simpan pesan moralnya dalam hati.


Yuli

Monday, May 10, 2010

Muffin! Muffin!

Haha. Beda, ya? Kaget, gak? Hoho :)
Maklumin deh. Sejak gw putus sama ex-gw, things got a bit different. Tapi, tenang aja, ini masih gw. Mungkin nanti namanya berubah, tapi, inget ya, ini masih gw. Yuli. Tanda tangan juga berubah. Masih gw. Ini sisi lain gw yang gw mau kasih liat ke kalian semua. Gw itu cewek. Gw bukan orang yang "tua". Gw ini anak remaja. Jadi, jangan kaget. Ini gw, gw masih ada untuk kalian semua. :) 
(By the way, ide nama muffin itu asalnya dari temen gw yang gak kalah imut sama template blog ini... >,<)

Happy!

Yuli

say it in your language.