Pages

Monday, September 19, 2011

A Matter of Heart

Akhir-akhir ini aku rakus membaca buku. Aku membaca 3 buku sekaligus, yaitu Larasati (Pramoedya Ananta Toer), A Death In Vienna (Frank Tallis), dan yang terakhir, Set-Apart Femininity (Leslie Ludy). Beberapa hari yang lalu, aku membaca sepenggal dari buku Set-Apart Femininity. Satu bagian menjelaskan saat Leslie Ludy melahirkan anak pertamanya, Hudson. Saat itu bukanlah saat yang menyenangkan bagi Leslie Ludy. Proses melahirkannya berlangsung dengan berantakan, dan baru beberapa lama dari kelahirannya, Hudson sakit parah karena tidak mampu menerima ASI dari Leslie Ludy. Saat itu seharusnya Leslie Ludy sudah kalap dan frustrasi berat, namun tenyata yang terjadi ialah sebaliknya.

Membaca cerita ini, aku sering ingat kepada saat-saat yang "gila" di sekolah. Rencana presentasi tugas gagal total. Lupa bawa pelajaran. Catatan pelajaran yang penting hilang semalam sebeum ulangan. Ulangan dadakan. Masalah pertemanan. Masalah keluarga. Atau gabungan dari semuanya menjadi satu. 

Seringkali aku merasa seperti mau pingsan saja, menghilang, masuk ke lubang, sakit, apa kek, supaya aku tidak harus menghadapi hari itu. Pusing, frustrasi, perasaan campur aduk. Doa komat-kamit diucapkan. "Tuhan, semoga ini dibatalkan", "Tuhan, semoga guru itu tidak ada", "Tuhan, semoga si anu tidak marah-marah lagi", dan lain-lain. Terkadang beberapa doa tidak terjadi. Aku lalu bertanya, "Tuhan, kok doaku nggak dikabulkan sih?"

Seringkali aku menganggap ini karena kesalahanku. Beberapa merupakan hasil dari kelalaianku. Mungkin hukuman dari Tuhan. Namun, jika hal itu bukan berasal dari kesalahanku, aku jadi kesal juga. Apa yang salah? Aku meminta agar aku terhindar dari masalah yang asalnya bukan dariku. Kenapa tak ada perubahan yang lebih baik sesuai waktunya? Pertanyaan mencuat-cuat dari otakku. Aku mulai meragukan Tuhan. Tuhan, aku 'kan berdoa supaya aku tidak mengalami hal yang seperti ini lagi, tapi kenapa ini terus terjadi?

Namun sekarang aku mengerti. Tuhan tidak selamanya bekerja dengan hal yang fisik. Bagi Tuhan, hal yang utama adalah yang di dalam ini, di hati. Ketika hati sudah tenang, Tuhan mulai kerja dengan yang fisik. Seperti cerita Leslie Ludy tadi. Saat ia hampir mencapai batas, ia berdoa agar Tuhan yang mengurus segalanya. Mungkin beberapa menit kemudian anaknya tidak sembuh, tetapi hatinya tenang. Ada suatu kekuatan yang menguatkan Leslie Ludy, untuk tidak panik dan kalap. Dan memang, setelah hatinya damai, dalam waktu 24 jam Hudson pulih dan sehat kembali. 

Setelah berkali-kali mengingat-ngingat dan memikirkan, memang benar juga bahwa Tuhan selalu menjawab doa kita. Kusadari pada waktu hal-hal yang tak diinginkan itu terjadi, seringkali perasaanku tidak sehancur dan sepanik saat aku memprediksi hal buruk yang terjadi. Kadang saja aku bandel dan tidak berdoa. Lalu masalah datang. Lalu frustrasi muncul. Dan aku menyalahkan Tuhan.

Hari itu (dan hari ini), aku belajar 2 hal, bahwa kerap kali Tuhan menjawab doa kita bukan dengan cara pikiran kita, dan bahwa mengikut Tuhan, percaya Tuhan, cara Tuhan bekerja, itu bukanlah dengan cara yang selamanya bersifat fisik dan logika, tetapi dengan cara yang bersifat rasa, yang mengutamakan hati. Following and believing God is not about something physical, it's the matter of heart.

Now that's supernatural!

Yuli

Lebaran, ooh Liburan!

TUNGGU! Sebelum membaca, perhatikan penggantian panggilan dalam cerita: Nenek diganti menjadi Nini, Tante menjadi Bibi, dan Paman menjadi Om. Karena keluargaku keluarga Sunda, jadi panggilannya pun menggunakan bahasa Sunda.

Liburan lebaran tahun ini kuhabiskan (habis karena sisanya digunakan untuk mengerjakan PR, dan lain-lain) dengan menginap 3 hari di rumah Nini-ku yang di DepokSelama 3 hari itu aku merasa: FUN! Kangen banget sama keramaian rumah Nini yang terus berasa sampai aku kembali lagi ke Jakarta. Banyak banget yang kita lakukan waktu menginap. 

Aku baru sampai di rumah Nini tanggal 29 Agustus pas sore hari. Awalnya aku berniat untuk menginap 2 hari 1 malam saja, toh besoknya lebaran sehingga orangtuaku akan datang lagi. Nini dan Bibi serta Om Iis (Om-ku kupanggil Om Iis) merayakan lebaran. Sore sebelum pengumuman keterlambatan puasa, Nini dan mamaku sibuk di dapur memasak opor ayam, ketupat, dan lain-lain. Aku, Meli, dan Kezia bermain bersama Rio, sepupu kami. Rio baru 4 tahun, sama dengan adikku, Kezia. Kezia sempat diajak jalan-jalan oleh Bibi dan dibelikan mainan. Ketika waktunya buka puasa, Semua orang ramai-ramai ke meja makan untuk makan. Namun, kami tidak duduk di meja makan. Meja makan Nini sudah terlalu kecil untuk menampung penghuni rumah Nini. Kebanyakan dari kami duduk diatas karpet, makan sambil menonton TV.

Ternyata, lebaran diundur. Aku masih ingat keramaian rumah sederhana Nini karena menonton rapat Majelis Agama tentang hari Lebaran. Nini ingin lebaran hari Selasa, Bibi ingin lebaran hari Rabu. Begitu ada yang ngomong kata "Selasa" di rapat Majelis, Nini akan bilang, "Tuh, hari Selasa!" Sementara Bibi akan bilang, "Tapi semuanya juga bilang hari Rabu!" Ketika hari Lebaran ditetapkan hari Rabu, Nini nyeletuk, "Ini teh udah masak buat besok lebaran, meuni geuleuh atuh diundur lagi! Jadi da opornya nteu dimakan. Mau diapain atuh masakannya? Ayam gagal, kacang gagal, sampah gagal! Gatot sia! "(Yah, pokoknya intinya Nini kesal karena makanannya tak bisa dimakan pada hari lebaran karena keburu basi. Sebelumnya ayam dan kacang yang dipesannya tidak datang-datang, dan tukang sampah yang biasanya membawa sampah di rumah Nini tidak datang berhari-hari. Gatot maksudnya gagal total.) Karena aksen Sunda Nini yang lucu, kami pun tertawa terbahak-bahak. Nini tersenyum.

Jadwal menginapku pun diundur hingga Rabu. Meski bajunya kurang, aku tidak takut. Karena aku sudah pernah tinggal di rumah Nini selama lebih dari 2 tahun, aku jadi lebih terbiasa dengan "penginapan mendadak" di rumah Nini. Bibi langsung menyiapkan baju tambahan untukku. Aku pun menginap dengan perasaan senang.  Yuli

Pencuci Sang Saka Merah Putih

Waktu tanggal 17 kemarin, aku pergi ke daerah Menteng Atas untuk membagikan sembako dalam rangka bulan puasa dari gereja. Aku sedang di depan gedung Juang '45 yang berbenderakan merah putih ketika tiba-tiba aku berpikir, semua orang yang bersangkutan dengan bendera merah putih pada pertama kali diciptakan sepertinya namanya selalu dikenang, kecuali pencucinya. Siapa ya kira-kira pencuci bendera itu setelah dikibarkan? 'Kan katanya bendera itu tidak boleh menyentuh tanah, dan orang yang memegangnya tidak boleh sembarangan. Berarti pencuci benderanya juga tidak sembarang orang dong? Siapa ya?

Aku jadi membayangkan kalau-kalau aku mewawancarai pencuci bendera itu. Apa yang akan dikatakannya? Mungkin hal seperti, "Ya, meskipun saya tak dikenal, tetapi saya telah memegang bendera itu. Saya bangga juga lah!" Atau mungkin, "Saya sudah mencuci bendera ini selama bertahun-tahun. Masak saya ndak diberi penghargaan? Itu tuh, paskibra yang megang benderanya aja pake sarung tangan diumumin namanya siapa, mentang-mentang saya baru megangnya setelah upacara saja jadi ndak diumumin juga!"

Aku jadi ingin melambangkan negara ini dengan bendera tadi. Maksudku begini, bendera itu dicuci 'kan kotor bukan karena disimpan (termasuk faktornya juga sih, namun paling cuma 5%, itu pun karena disimpannya kelamaan, setahun), tetapi 'kan karena dikibarkan, jadi terkena debu dimana-mana. Ibaratnya kalau negara ini, Indonesia, dikibarkan di antara bangsa-bangsa, kena debu juga 'kan, baik dari bangsa lain atau bangsa sendiri. Karena itu, negara kita jadi kotor.

Nah, jika itu terjadi, haruslah ada orang-orang yang mau mencuci negara ini. Dan kitalah orang-orangnya, para warga negara Indonesia, negara ini. Sekarang, apakah kita mau menjadi pencuci negara ini? Apa jawaban yang akan kita lontarkan ketika nanti seseorang menanyakan tentang kita sebagai pencuci, seperti illustrasi tadi?

Manakah jawaban yang akan kita pilih?

Yuli

say it in your language.