Pages

Monday, September 19, 2011

A Matter of Heart

Akhir-akhir ini aku rakus membaca buku. Aku membaca 3 buku sekaligus, yaitu Larasati (Pramoedya Ananta Toer), A Death In Vienna (Frank Tallis), dan yang terakhir, Set-Apart Femininity (Leslie Ludy). Beberapa hari yang lalu, aku membaca sepenggal dari buku Set-Apart Femininity. Satu bagian menjelaskan saat Leslie Ludy melahirkan anak pertamanya, Hudson. Saat itu bukanlah saat yang menyenangkan bagi Leslie Ludy. Proses melahirkannya berlangsung dengan berantakan, dan baru beberapa lama dari kelahirannya, Hudson sakit parah karena tidak mampu menerima ASI dari Leslie Ludy. Saat itu seharusnya Leslie Ludy sudah kalap dan frustrasi berat, namun tenyata yang terjadi ialah sebaliknya.

Membaca cerita ini, aku sering ingat kepada saat-saat yang "gila" di sekolah. Rencana presentasi tugas gagal total. Lupa bawa pelajaran. Catatan pelajaran yang penting hilang semalam sebeum ulangan. Ulangan dadakan. Masalah pertemanan. Masalah keluarga. Atau gabungan dari semuanya menjadi satu. 

Seringkali aku merasa seperti mau pingsan saja, menghilang, masuk ke lubang, sakit, apa kek, supaya aku tidak harus menghadapi hari itu. Pusing, frustrasi, perasaan campur aduk. Doa komat-kamit diucapkan. "Tuhan, semoga ini dibatalkan", "Tuhan, semoga guru itu tidak ada", "Tuhan, semoga si anu tidak marah-marah lagi", dan lain-lain. Terkadang beberapa doa tidak terjadi. Aku lalu bertanya, "Tuhan, kok doaku nggak dikabulkan sih?"

Seringkali aku menganggap ini karena kesalahanku. Beberapa merupakan hasil dari kelalaianku. Mungkin hukuman dari Tuhan. Namun, jika hal itu bukan berasal dari kesalahanku, aku jadi kesal juga. Apa yang salah? Aku meminta agar aku terhindar dari masalah yang asalnya bukan dariku. Kenapa tak ada perubahan yang lebih baik sesuai waktunya? Pertanyaan mencuat-cuat dari otakku. Aku mulai meragukan Tuhan. Tuhan, aku 'kan berdoa supaya aku tidak mengalami hal yang seperti ini lagi, tapi kenapa ini terus terjadi?

Namun sekarang aku mengerti. Tuhan tidak selamanya bekerja dengan hal yang fisik. Bagi Tuhan, hal yang utama adalah yang di dalam ini, di hati. Ketika hati sudah tenang, Tuhan mulai kerja dengan yang fisik. Seperti cerita Leslie Ludy tadi. Saat ia hampir mencapai batas, ia berdoa agar Tuhan yang mengurus segalanya. Mungkin beberapa menit kemudian anaknya tidak sembuh, tetapi hatinya tenang. Ada suatu kekuatan yang menguatkan Leslie Ludy, untuk tidak panik dan kalap. Dan memang, setelah hatinya damai, dalam waktu 24 jam Hudson pulih dan sehat kembali. 

Setelah berkali-kali mengingat-ngingat dan memikirkan, memang benar juga bahwa Tuhan selalu menjawab doa kita. Kusadari pada waktu hal-hal yang tak diinginkan itu terjadi, seringkali perasaanku tidak sehancur dan sepanik saat aku memprediksi hal buruk yang terjadi. Kadang saja aku bandel dan tidak berdoa. Lalu masalah datang. Lalu frustrasi muncul. Dan aku menyalahkan Tuhan.

Hari itu (dan hari ini), aku belajar 2 hal, bahwa kerap kali Tuhan menjawab doa kita bukan dengan cara pikiran kita, dan bahwa mengikut Tuhan, percaya Tuhan, cara Tuhan bekerja, itu bukanlah dengan cara yang selamanya bersifat fisik dan logika, tetapi dengan cara yang bersifat rasa, yang mengutamakan hati. Following and believing God is not about something physical, it's the matter of heart.

Now that's supernatural!

Yuli

Lebaran, ooh Liburan!

TUNGGU! Sebelum membaca, perhatikan penggantian panggilan dalam cerita: Nenek diganti menjadi Nini, Tante menjadi Bibi, dan Paman menjadi Om. Karena keluargaku keluarga Sunda, jadi panggilannya pun menggunakan bahasa Sunda.

Liburan lebaran tahun ini kuhabiskan (habis karena sisanya digunakan untuk mengerjakan PR, dan lain-lain) dengan menginap 3 hari di rumah Nini-ku yang di DepokSelama 3 hari itu aku merasa: FUN! Kangen banget sama keramaian rumah Nini yang terus berasa sampai aku kembali lagi ke Jakarta. Banyak banget yang kita lakukan waktu menginap. 

Aku baru sampai di rumah Nini tanggal 29 Agustus pas sore hari. Awalnya aku berniat untuk menginap 2 hari 1 malam saja, toh besoknya lebaran sehingga orangtuaku akan datang lagi. Nini dan Bibi serta Om Iis (Om-ku kupanggil Om Iis) merayakan lebaran. Sore sebelum pengumuman keterlambatan puasa, Nini dan mamaku sibuk di dapur memasak opor ayam, ketupat, dan lain-lain. Aku, Meli, dan Kezia bermain bersama Rio, sepupu kami. Rio baru 4 tahun, sama dengan adikku, Kezia. Kezia sempat diajak jalan-jalan oleh Bibi dan dibelikan mainan. Ketika waktunya buka puasa, Semua orang ramai-ramai ke meja makan untuk makan. Namun, kami tidak duduk di meja makan. Meja makan Nini sudah terlalu kecil untuk menampung penghuni rumah Nini. Kebanyakan dari kami duduk diatas karpet, makan sambil menonton TV.

Ternyata, lebaran diundur. Aku masih ingat keramaian rumah sederhana Nini karena menonton rapat Majelis Agama tentang hari Lebaran. Nini ingin lebaran hari Selasa, Bibi ingin lebaran hari Rabu. Begitu ada yang ngomong kata "Selasa" di rapat Majelis, Nini akan bilang, "Tuh, hari Selasa!" Sementara Bibi akan bilang, "Tapi semuanya juga bilang hari Rabu!" Ketika hari Lebaran ditetapkan hari Rabu, Nini nyeletuk, "Ini teh udah masak buat besok lebaran, meuni geuleuh atuh diundur lagi! Jadi da opornya nteu dimakan. Mau diapain atuh masakannya? Ayam gagal, kacang gagal, sampah gagal! Gatot sia! "(Yah, pokoknya intinya Nini kesal karena makanannya tak bisa dimakan pada hari lebaran karena keburu basi. Sebelumnya ayam dan kacang yang dipesannya tidak datang-datang, dan tukang sampah yang biasanya membawa sampah di rumah Nini tidak datang berhari-hari. Gatot maksudnya gagal total.) Karena aksen Sunda Nini yang lucu, kami pun tertawa terbahak-bahak. Nini tersenyum.

Jadwal menginapku pun diundur hingga Rabu. Meski bajunya kurang, aku tidak takut. Karena aku sudah pernah tinggal di rumah Nini selama lebih dari 2 tahun, aku jadi lebih terbiasa dengan "penginapan mendadak" di rumah Nini. Bibi langsung menyiapkan baju tambahan untukku. Aku pun menginap dengan perasaan senang.  Yuli

Pencuci Sang Saka Merah Putih

Waktu tanggal 17 kemarin, aku pergi ke daerah Menteng Atas untuk membagikan sembako dalam rangka bulan puasa dari gereja. Aku sedang di depan gedung Juang '45 yang berbenderakan merah putih ketika tiba-tiba aku berpikir, semua orang yang bersangkutan dengan bendera merah putih pada pertama kali diciptakan sepertinya namanya selalu dikenang, kecuali pencucinya. Siapa ya kira-kira pencuci bendera itu setelah dikibarkan? 'Kan katanya bendera itu tidak boleh menyentuh tanah, dan orang yang memegangnya tidak boleh sembarangan. Berarti pencuci benderanya juga tidak sembarang orang dong? Siapa ya?

Aku jadi membayangkan kalau-kalau aku mewawancarai pencuci bendera itu. Apa yang akan dikatakannya? Mungkin hal seperti, "Ya, meskipun saya tak dikenal, tetapi saya telah memegang bendera itu. Saya bangga juga lah!" Atau mungkin, "Saya sudah mencuci bendera ini selama bertahun-tahun. Masak saya ndak diberi penghargaan? Itu tuh, paskibra yang megang benderanya aja pake sarung tangan diumumin namanya siapa, mentang-mentang saya baru megangnya setelah upacara saja jadi ndak diumumin juga!"

Aku jadi ingin melambangkan negara ini dengan bendera tadi. Maksudku begini, bendera itu dicuci 'kan kotor bukan karena disimpan (termasuk faktornya juga sih, namun paling cuma 5%, itu pun karena disimpannya kelamaan, setahun), tetapi 'kan karena dikibarkan, jadi terkena debu dimana-mana. Ibaratnya kalau negara ini, Indonesia, dikibarkan di antara bangsa-bangsa, kena debu juga 'kan, baik dari bangsa lain atau bangsa sendiri. Karena itu, negara kita jadi kotor.

Nah, jika itu terjadi, haruslah ada orang-orang yang mau mencuci negara ini. Dan kitalah orang-orangnya, para warga negara Indonesia, negara ini. Sekarang, apakah kita mau menjadi pencuci negara ini? Apa jawaban yang akan kita lontarkan ketika nanti seseorang menanyakan tentang kita sebagai pencuci, seperti illustrasi tadi?

Manakah jawaban yang akan kita pilih?

Yuli

Friday, July 22, 2011

Eh, Lupa!

Lauren memelototi kalender. "Kak, 4 hari lagi ada hari Valentine!"

"Kenapa emang?" Tanggap kakaknya ketus. 

"Aku mau kasih cokelat buat itu loh ci, temen sekelasku, namanya Regis!" Regis memang akhir-akhir ini dekat dengan Lauren. Selama ini Lauren hanya memberikan cokelat Valentine-nya ke sahabat-sahabatnya yang perempuan, jadi kali ini ia ingin mencoba untuk memberi cokelat ke laki-laki. Karena selama ini Regis sudah dekat dan menolong Lauren setiap waktu, Lauren pikir ia ingin membalas perbuatan Regis. "Kak, tempat jualan coklat yang enak dimana sih?"

"Alah, di Indomaret juga banyak yang bagus! Emang mau bikin sendiri apa udah jadi?"

"Bikin sendiri lah! Dimanaaaa ciii... anterin dooong..." Lauren memohon dengan muka memelas.

"Yaudah. Ntar kita ke GI deh. Gue tau tempat cokelat bagus disana."

"Eeeeh! Jangan hari ini. Besok aja deh, 'kan aku mau tau dulu, cokelat apa yang Regis suka." Muka Lauren tampak berseri-seri. Ia sangat bersemangat akan hal ini.

"Yaudah. Besok siang gue tunggu di depan sekolah."

"Sip kak!" Lauren meninggalkan kamar. Ia tak sabar untuk bercerita pada sahabat-sahabatnya.

Keesokan harinya, 3 hari sebelum hari Valentine

"Haiii!!!" Sapa Lauren kepada sahabat-sahabatnya setibanya di sekolah, Lauren menyampaikan usulnya tentang memberikan cokelat ke Regis. Usulan itu disambut dengan teriakan meriah sahabat-sahabatnya.

"Waaaaah! Seru banget tuh! Gimana kalo nanti gue ajarin bikin cokelat pas pulang sekolah?" Tanggap seorang sahabatnya.

"Tapi, gue mau belanja cokelat bareng kakak gue hari ini..." Lauren menjawab dengan risih.

"Mendingan hari ini lu belajar coklat bareng kita," tanggap seorang yang lain. "Nggak guna kalo lu udah beli cokelat tapi nggak tahu cara bikinnya. Lagian, hari ini kita mau slumber party di rumah." Memang, selama ini Lauren hanya memberikan cokelat jadi ke sahabat-sahabatnya. Ia tak pernah membuat cokelat sendiri.

"Mmm, yaudah deh! Nanti gue telepon kakak gue." Lauren menyerah.

"Nah, gitu dong! Sohib namanya kalo gitu!" Sahabat-sahabatnya memberikan dia acungan jempol.

Siang itu, Lauren menelepon kakaknya untuk membatalkan acara belanjanya hari ini. Rencana berubah!

Keesokan harinya, 2 hari sebelum hari Valentine

Lauren agak mengantuk hari ini. Ia tidur pagi setelah bermain pillow fight dengan teman-temannya. Setiap kali ia bertemu Regis, ia hampir menguap di depan wajahnya.

"Gimana cara nanti gue ngomong ke Regis? Lu pada tahu siapa yang pernah confess ke Regis?" tanya Lauren ke sahabat-sahabatnya.

"Eh, gue denger si Claire pernah confess tuh! terus diterima! Lu tanya aja sama dia." Seorang dari sahabatnya memberi jawaban.

Saat istirahat, Lauren menghampiri Claire. Mereka bercerita panjang tentang Regis. Soal Regis yang pernah di-confess dengan si anu, si itu, dan lain-lain. Tentang mantan-mantan Regis yang populer di sekolah. Dalam sekejap, Lauren menjadi detektif gosip. Ia memutuskan untuk melanjutkan pencariannya besok.

Hari itu, Lauren berbelanja cokelat dengan kakaknya. Ia membeli cokelat berlabel "chocolat parfait", yang paling mahal diantara yang lain. Namun ia tidak membuat cokelatnya hari itu. Masih ada hari esok, pikirnya. Ia tak sadar bahwa esok adalah hari terakhir sebelum hari Valentine.

Keesokan harinya, 1 hari sebelum hari Valentine

Lauren melanjutkan pekerjaannya sebagai detektif. Lama-kelamaan Lauren hanya berkumpul dengan orang-orang yang dekat dengan Regis. Sahabat-sahabatnya terlupakan.

Karena hal itu, Lauren jadi kelelahan dan menunda untuk membuat cokelat hari itu. Masih ada hari esok, pikirnya. Ia tak tahu bahwa besok ialah hari Valentine!

Keesokan harinya, hari Valentine

Lauren memasuki sekolah. Ia menjadi detektif lagi. Namun kali ini, ia agak kebingungan dengan kelasnya yang ramai-ramai hari Valentine. Ia pikir hal yang biasa untuk barbar sebelum hari Valentine.

Malamnya, ia menerima SMS dari seorang sahabatnya.

Kemana aja lo? Hari ini gue nggak ngeliat lu ngasih cokelat ke Regis.

Lauren menjawab:

Lah? Besok 'kan baru hari Valentine, dodol. Gue baru buat cokelatnya hari ini. Besok lah baru gue kasih.

Sahabatnya menjawab:

Elo yang dodol! Liat kalender. Hari ini tuh hari Valentine!

Lauren mengintip kalendernya. Ternyata benar. Hari itu hari Valentine. "Aaaaggghhh!" Lauren berteriak keras-keras. Karena sibuk mengurusi hal lain, cokelat buatannya pun tak ada artinya lagi.

Yuli

Kinara

Seorang perempuan menari di ujung lorong. Namanya Kinara.

Kinara suka menari. Kinara mencintai bintang. Karena itu Kinara hanya akan menari di depan bintang.

Kinara mau semakin dekat dengan bintang, sehingga dalam tariannya, Kinara seringkali bernyanyi pelan, "bawa aku ke bintang."

Suatu hari, Kinara yang kelelahan bermalam-malam menari terduduk menangis di ujung lorong. Seekor burung hantu berjubah menghampirinya. 

"Mengapa menangis?" tanya burung hantu.

"Aku kelelahan menari untuk bintang. Ternyata, meskipun aku menari sampai seluruh tubuhku kelelahan, bintang tetap tak datang." Kinara menangis sambil menjelaskan.

"Aku mungkin tidak bisa membawamu ke bintang, tetapi aku bisa membawamu ke bulan, mungkin." Burung hantu menggaruk-garuk kepalanya, berpikir keras.

"Untuk apa aku ke bulan? Di bulan hanya ada kehampaan. Aku benci bulan."  Kinara menggeleng-geleng lemah.

"Namun kau bisa menemukan bintang, dan mungkin bisa lebih dekat dengan bintang di sana."

"Benarkah?" Kinara membelalakkan matanya, tangisnya terhenti. Ia merasa memiliki harapan.

"Benar. Mari kutunjukkan jalannya," pinta sang burung hantu. Ia menggamit tangan Kinara, membawanya pergi.

Sementara Kinara pergi ke bulan, bintang sedang turun ke bumi, menjadi bintang jatuh yang indah.

Yuli

Mama Takut Ulat Bulu

Hari ini aku jalan-jalan ke mal bersama mama, Kezia dan Meli, adik-adikku. Kami berniat untuk mencari buku pelajaran Meli dan aku, serta membelikan mainan dokter-dokteran yang sudah dijanjikan mama ke Kezia. Hari ini pencarian kami untuk buku pelajaran payah sekali, hanya 1 untuk masing-masing kami. Setelah pusing berputar-putar mencari buku, kami memutuskan untuk me-refresh diri kami dengan mencari mainan untuk Kezia. Kami pergi ke toko "Early Learning Center".

Aku mulai mencari-cari mainan untuk Kezia--dan tentu saja, mainan yang bisa menarik untuk dicoba. Ibuku memintaku untuk menentukan mainan yang pas untuk Kezia diantara 2 pilihan. Aku berakhir memilih 1 yang mahal akibat desakan Kezia. Saat mama ingin membayar mainan Kezia sambil bergurau tentang mahalnya harga mainan, Meli menemukan mainan yang menarik. 

Mainan itu dilemparkan kepadaku. Aku menatapnya setelah tersentak (sedikit). Sebuah replika (edisi geli dan lebih besar) dari ulat bulu. Meli berbisik, "lemparkan ke mama, deh."

Aku melihatnya lagi sejenak. Karena tidak berniat untuk mengagetkan mama, aku hanya menyampirkan mainan itu ke atas tangan mama yang sedang mengetik di BB-nya.

Sejenak kemudian, aku mendengar teriakan dan loncatan dari mama. Mama kaget. Untung tidak ada kasir disana, karena kasirnya sedang mengambilkan barang belian mama.

Aku tertawa. Semua tertawa. Ternyata, mama takut ulat bulu.

Yuli

Ulangan Vs. Tidur


Aku masih ingat hari Kamis itu, saat aku sedang mengerjakan ulangan mid-semester fisikaku. Hari itu aku sangat yakin bahwa aku akan dapat nilai bagus. Pertama, aku sudah belajar ekstra keras, bahkan dari minggu sebelum ulanganku dimulai. Kedua, aku yakin bahwa aku sudah cukup TIDUR (itu masalah terbesarku) malam sebelumya, yaitu kira-kira 5 jam. Ketiga, aku sudah belajar di waktu istirahat pertama sekolahku sebelum waktu ulangan fisikaku, plus berdoa sebelum berangkat sekolah dan sebelum ulangan. Aku merasa sangat segar dan tentu saja, bersemangat!

Namun, sepertinya Tuhan berkata lain. Pada saat aku memasuki ruang ulangan, aku langsung merasa ngantuk. Aku langsung menepis perasaan itu, lalu beranjak ke tempat dudukku. Kukeluarkan semua peralatan perangku, dari pensil yang sudah diraut super tajam sampai kartu legitimasi yang sudah kupotong rapi. Lembar jawaban dan kertas ulangan dibagikan. Setelah itu, kertas soal dibagikan.

Saat aku melihat soal, aku langsung merasa percaya diri. Soalnya tidak terlalu sulit! Namun ketika soal hitungan pertama muncul, aku mulai merasa mulas. Lalu tiba-tiba kantuk menyerang. Tidak terlalu parah sih, jadi aku terus saja mengerjakan, meski ada yang sudah sepertinya teriak-teriak di kepalaku, ke toilet, ke toilet! Cuci muka! 

Saat hitungan yang benar-benar sulit (koma-komaan lagi), aku mulai agak ngantuk (lagi). Aku menatap ke jam. Wah, sudah tinggal 1 jam lagi, pikirku. Aku terus saja menatap jam, memperhatikan detik-detiknya yang berlalu. 

Tiba-tiba aku tersadar kembali, setelah guruku berbicara, "lima belas menit lagi. Ayo, di cek dulu jawabannya." Aku gelagapan melihat jam. Loh, kok 15 menit lagi! Eh, dari tadi gue gak ngapa-ngapain!! teriakku di dalam hati. Tadi 'kan gue baru ngeliat jam!

Namun, guruku sudah memastikan semua siswa di kelasku sudah selesai mengerjakan, dan mulai mengumpulkan. Malangnya nasibku. Aku baru selesai 13 soal! Secara acak aku mulai menjawab sisanya di lembar jawaban. Aku sangat menyesal melihat diriku melewatkan soal-soal mudah dengan terburu-buru akibat waktu. Guruku sambil marah-marah menungguku menyelesaikan jawaban. Bahkan, temanku tak tega melihatku mengerjakan soal yang masih bersisa 37 butir itu.

Ketika ulangan itu akhirnya berlalu, aku "mengumumkan" kekesalanku ke teman-temanku, yang menjawab dengan jawaban yang tak kalah menyedihkan. Beberapa hanya mengerjakan kurang dari 20 soal dengan benar. Aaaahh, aku merasa kalah sekali.

Beberapa hari kemudian, nilai ulangan fisika itu selesai dirilis, dan diumumkan di papan pengumuman sekolah. Aku melihat angkanya.

56.

Paling rendah seumur-umur ulangan fisikaku.

Lalu tiba-tiba guru fisikaku lewat. "Kok bisa ya nilainya jelek kayak gini? Soalnya sudah dibuat mudah, rasio pembagian nilai esai dan pilihan gandanya sudah dibuat supaya nilainya bisa bagus, tetap saja jelek. Bodoh kali ya yang mengerjakan ulangan ini sampai nilainya merah? Pasti pada nggak belajar," ujarnya selintas.

Ia mengucapkannya di depan adik kelasku. Mungkin ini hukuman dari Tuhan karena sombong untukku.

(Setelah beberapa waktu, aku baru mengetahui sendiri bahwa ternyata aku tertidur sambil membuka mata saat itu. Ada yang bisa?)


Yuli

Woohoo!!

Haiiiii... Semua! Karena gue udah absen lama banget, gue mau bayar posting gue yang bolong-bolong dengan... Tarraaaaa!!! Hasil latihan nulis gue selama SEBULAN ini. Ada banyak, dan akan gue langsung posting. Selamat membaca!

Super Cheers!!

Yuli

Friday, March 25, 2011

About that purity ring.

Yeep. About "that" ring. (Jadi inget "The Onion Ring"-nya Annoying Orange, hahahaha...)
Oke. Aku mau meluruskan pengartian yang salah. (Huaaa... bego banget ya? Ga jelas-ga jelas begini... Duuuh... *risih*. Kayaknya cuma berani gila begini pas nulis ga jelas ya?*jangan dianggap*)
Gini, cincin itu memang bukan jimat. Tapi benda itu spesial. Setelah berpikir, the right words to describe it adalah token reminder.
Bahkan cincin itu ada artinya. Artinya "God is the vine" (kalo ga salah. Eh, bener deh.). At least, mengingatkan kalo aku harus (hanya) bergantung sama Dia.
So, itu bukan jimat. Kenapa kupakai hanya diluar rumah, karena kalau dirumah bisa disimpan ditempat yang aman (biar ga ilang, susah nyarinya). Toh, gak akan ada cowok yang cukup gila untuk godain gue dirumah. (Kalo ampe ada, berarti dia gila banget.)
Itu kupakai supaya setiap kali "pemandangan indah (alias cowok-cowok indah berspesies indah) itu muncul, ato "nembak" (namanya konyol banget), aku bisa liat terus tu token reminder yang ngingetin gw (ga sinkron banget "gw n' "aku") kalo itu purity ring gw pake berarti gw ga bakal pacaran sampe saat yang tepat. Jadi kalau "temptation" seperti itu datang (soalnya udah pernah kecolongan), gw ga akan kalah (lagi).
Begitulah. Penjelasan panjang ga jelas (muter-muter lagi) dari gw. Waktu terakhir pertanyaan itu ditanyakan, gw lagi pusing jadi bungung mo jawab apa (tapi ngeganjel terus).
Sori kalo gw naif, egois, n' keliatan munafik (ato munafik beneran?!). Plis, ini cuma explanation. Mungkin kedengaran private dan ga pantes, tapi jangan salahin gw (liat jamnya ini dibikin, kepala gw ibaratnya kayak sembriwing gitu deh.)
Ya. Itu saja. Terima kasih atas kesediaannya membaca dan mengerutkan kening (atau malah marah dan tertawa?)
Please, spare me.
Thank you.
Friday 25th, 2011

00.41 A.M.


Yuli

Saturday, March 5, 2011

First Poems

Inilah puisi-puisi pertama gw yang rampung di FB gw. Dibaca ya!

If...

If...
Our life like a journey
And our journey is over
And our tour guide has said,"this journey is over, you can go back to your Father now..."

If...
Our life like a study tour
And our father has pay himself
His blood
To pay our study tour

"What will you do?"
Are you going to run
Or maybe.......
Go back to your Father

Are you gonna think," I'm pretty much strong, so I can go by myself"
Or you will said to your Father,"I miss You!!"

Yuli

Puisi Inggris yang Super Ribet

Langsung dari bahasa inggris aja, ya...

If you can correctly pronounce every word in this poem, you will be speaking English better than 90% of the native English speakers in the world. After trying the verses, a Frenchman said he’d prefer six months of hard labour to reading six lines aloud. Try them yourself.

Dearest creature in creation, Study English pronunciation.

Dearest creature in creation,
Study English pronunciation.
I will teach you in my verse
Sounds like corpse, corps, horse, and worse.
I will keep you, Suzy, busy,
Make your head with heat grow dizzy.
Tear in eye, your dress will tear.
So shall I! Oh hear my prayer.

Just compare heart, beard, and heard,
Dies and diet, lord and word,
Sword and sward, retain and Britain.
(Mind the latter, how it’s written.)
Now I surely will not plague you
With such words as plaque and ague.
But be careful how you speak:
Say break and steak, but bleak and streak;
Cloven, oven, how and low,
Script, receipt, show, poem, and toe.

Hear me say, devoid of trickery,
Daughter, laughter, and Terpsichore,
Typhoid, measles, topsails, aisles,
Exiles, similes, and reviles;
Scholar, vicar, and cigar,
Solar, mica, war and far;
One, anemone, Balmoral,
Kitchen, lichen, laundry, laurel;
Gertrude, German, wind and mind,
Scene, Melpomene, mankind.

Billet does not rhyme with ballet,
Bouquet, wallet, mallet, chalet.
Blood and flood are not like food,
Nor is mould like should and would.
Viscous, viscount, load and broad,
Toward, to forward, to reward.
And your pronunciation’s OK
When you correctly say croquet,
Rounded, wounded, grieve and sieve,
Friend and fiend, alive and live.

Ivy, privy, famous; clamour
And enamour rhyme with hammer.
River, rival, tomb, bomb, comb,
Doll and roll and some and home.
Stranger does not rhyme with anger,
Neither does devour with clangour.
Souls but foul, haunt but aunt,
Font, front, wont, want, grand, and grant,
Shoes, goes, does. Now first say finger,
And then singer, ginger, linger,
Real, zeal, mauve, gauze, gouge and gauge,
Marriage, foliage, mirage, and age.

Query does not rhyme with very,
Nor does fury sound like bury.
Dost, lost, post and doth, cloth, loth.
Job, nob, bosom, transom, oath.
Though the differences seem little,
We say actual but victual.
Refer does not rhyme with deafer.
Foeffer does, and zephyr, heifer.
Mint, pint, senate and sedate;
Dull, bull, and George ate late.
Scenic, Arabic, Pacific,
Science, conscience, scientific.

Liberty, library, heave and heaven,
Rachel, ache, moustache, eleven.
We say hallowed, but allowed,
People, leopard, towed, but vowed.
Mark the differences, moreover,
Between mover, cover, clover;
Leeches, breeches, wise, precise,
Chalice, but police and lice;
Camel, constable, unstable,
Principle, disciple, label.

Petal, panel, and canal,
Wait, surprise, plait, promise, pal.
Worm and storm, chaise, chaos, chair,
Senator, spectator, mayor.
Tour, but our and succour, four.
Gas, alas, and Arkansas.
Sea, idea, Korea, area,
Psalm, Maria, but malaria.
Youth, south, southern, cleanse and clean.
Doctrine, turpentine, marine.

Compare alien with Italian,
Dandelion and battalion.
Sally with ally, yea, ye,
Eye, I, ay, aye, whey, and key.
Say aver, but ever, fever,
Neither, leisure, skein, deceiver.
Heron, granary, canary.
Crevice and device and aerie.

Face, but preface, not efface.
Phlegm, phlegmatic, ass, glass, bass.
Large, but target, gin, give, verging,
Ought, out, joust and scour, scourging.
Ear, but earn and wear and tear
Do not rhyme with here but ere.
Seven is right, but so is even,
Hyphen, roughen, nephew Stephen,
Monkey, donkey, Turk and jerk,
Ask, grasp, wasp, and cork and work.

Pronunciation — think of Psyche!
Is a paling stout and spikey?
Won’t it make you lose your wits,
Writing groats and saying grits?
It’s a dark abyss or tunnel:
Strewn with stones, stowed, solace, gunwale,
Islington and Isle of Wight,
Housewife, verdict and indict.

Finally, which rhymes with enough —
Though, through, plough, or dough, or cough?
Hiccough has the sound of cup.
My advice is to give up!!!

The poem above is called “The Chaos” and was written by G. Nolst Trenite, a.k.a. Charivarius (1870-1946).


Yuli

Malam

Malam. Meski sunyi, ia adalah pendengar yang sangat baik. Saat semua terlelap, seringkali aku mengobrol dengannya. Obrolannya macam-macam. Biasanya, si penyiar radio suka nimbrung. Tapi kali ini, hanya aku, malam dan musik David Foster yang mengobrol. Musik David Foster sibuk bernyanyi, sedangkan aku dan malam mengobrol, seperti biasanya.

Topik pembicaraan kami tak pernah habis. Suatu kali kami bercerita tentang sahabat, atau pasangan yang belum kami miliki. Kadang hal-hal yang menyeramkan, yang berakhir dengan tidurku, atau hal-hal lucu yang membuatku tertawa. Terkadang kami bercerita soal tugas dan tanggung jawab yang berat. Terkadang aku kasihan dengan malam, yang harus berjaga-jaga jika matahari kembali muncul, sementara aku terlelap pulas menunggu esok.

Aku tahu. Dunia kami memang berbeda.

Tetapi kenyataannya, aku selalu merindukan malam!

Yah, karena malam selalu romantis. Mungkin kau pikir dia menyeramkan. Tapi kalau sudah kenal, dia baik kok. Dia juga humoris dan tenang. Terkadang ia menyebalkan, tetapi di kala ia menyebalkan, ia bisa jadi manis, manis sekali. Dia juga sangat sabar, mungkin karena kebiasaannya menunggu matahari?
Aku tak tahu.

Namun rasanya berat sekali meninggalkannya, semenit saja.

Fiuh. Aku kangen sekali sama malam.

Jakarta, 12:12 A.M., at my bed
Yulinda.K

say it in your language.