Pages

Thursday, July 24, 2014

Kembar

Aku berjalan berdesakan menaiki tangga menuju ruang teater bioskop, ponsel di tangan. Dengan tergopoh-gopoh aku mengetik sebuah pesan singkat:
Sure you don't wanna come?
Setelah akhirnya berhasil memasuki teater, aku langsung mencari tempat dudukku dan menempatkan kotak bekal di armrest kiri, botol minum di armrest kanan kursi bioskop. Aku duduk, menunggu film mulai sambil membuka kotak bekal yang berisi biskuit. Ponselku bergetar di kantong celana jeans-ku. James membalas pesan singkatku:
sorry babe, cant go. enjoy watching tho, you gonna meet bill afterwards? gotta congratulate him on the premiere
Aku mengetik balasan:
Aww that's too bad. Dunno, he looks busy. Maybe sometime, and we could go together. Well, you're still going to pick me up later?
Iklan menuju pemutaran film masih berlangsung. Aku menyorongkan satu biskuit ke mulut, dadaku berdegup bangga. Akhirnya, temanku berhasil membuat film layar lebar pertamanya. Tentu saja beberapa dari pemerannya akan familier nanti. Aku menjadi sangat penasaran. 

Ponselku bergetar lagi. Sebuah pesan masuk. 
sure babe. time?
Video informasi aturan-aturan di bioskop mulai diputar. Aku buru-buru mengetik balasan:
Probably 8. Anyway, movie's starting. Talk to you soon. Love you :*
Aku mengunci ponsel, membiarkan diriku masuk ke dalam plot film. Aku sengaja belum mencari sinopsis filmnya, bahkan tidak bertanya kepada Bill mengenai detail filmnya, demi memberikan opini yang lebih objektif di saat nanti. Ponselku bergetar lagi. 
love you too babe, always :)
Aku tersenyum, dan film mulai diputar.

**

Aku mengetuk pintu kayu bergaya modern itu dengan gugup. 

Tok tok tok. 

Sekali. Tidak ada balasan. Sebelah tanganku memegang sekotak es krim stroberi. Dinginnya serasa seolah hampir membekukan tanganku. Aku mengetuk lagi. 

Tok. Tok. Tok. 

Dua kali. Masih tidak terdengar suara apapun. Apa penghuninya sedang pergi? Sewaktu aku membeli apartemen, katanya apartemen ini adalah apartemen berkamar satu. Mungkin penghuninya hanya satu orang. Aku khawatir esnya akan meleleh. Kuketuk lagi pintu untuk ketiga kalinya. 

Toktoktok. 

Tiga kali. Aku merasa tidak sopan, sangat tidak sabaran. Mungkin seharusnya aku tidak membawa es krim. Apa sebaiknya aku pergi? Mungkin penghuninya sedang pergi. Hmm, kuhitung saja hingga tiga. Kalau masih belum muncul, aku akan pergi. Satu, dua, ti...

Pintunya terbuka. 

Seorang laki-laki dengan rambut cepak acak-acakan membuka pintu. Ia mengenakan celana boxer dan kaus oblong abu berlengan pendek. Wajahnya masih seperti setengah nyawa, antara sadar dan tidak sadar. Parasnya seperti seumuran denganku. Ia menatapku kebingungan. 

"Dude, did you call any of your bitches to show up today?" Ia menoleh dan berteriak ke dalam apartemen. Kata-katanya cukup untuk membuatku muak. Belum lagi penampilannya. Seharusnya aku tidak datang. 

Sekilas aku mengintip ke dalam. Apartemennya terang dari sinar matahari. Ada suara teriakan nge-bass dari dalam apartemen, "What? Sial! Udah tinggal lawan boss-nya nih, lo yang urus deh! Bentar gue ke sono!"

Aku hanya bisa manyun mendengarnya, lalu mencoba menjelaskan sebelum es krimnya meleleh. "Ehrm, Kak, saya dari apartemen seberang, baru pindah." Aku menyodorkan tangan. "Nama saya Dinda."

Ia menatapku lagi, masih dengan wajah kelimpungan. "Oh," katanya. "Woi, bukan deh, cewek baru dari seberang yang dateng!" Ia menoleh dan berteriak lagi ke dalam. Aku sudah tidak tahan. Ini awkward sekali. Ia bahkan tidak membalas uluran tanganku!

Aku langsung menyodorkan kotak es krim itu ke kausnya, spontan mengagetkannya dan membuatnya beralih ke hadapanku. "Oiya Kak, saya juga bawa es krim, tadi baru beli. Anggap aja hadiah perkenalan hehe, makasih Kak." Buru-buru aku berbalik badan dan berjalan ke seberang apartemennya, yaitu apartemenku. 

"Tunggu!" Akhirnya, laki-laki itu bebicara kepadaku. "Nama gue Hans. Kalo ada apa-apa ketok aja. Asal kita ga lagi ngampus, pasti dibukain." 

Aku menoleh ke arahnya dan tersenyum. "Oke, tapi saya nggak yakin." Tepat saat itu, pintu apartemenku terbuka. Aku langsung masuk ke dalam, tersenyum lebar ke arahnya yang sudah nyinyir, lalu menutup pintu dan menguncinya. 

Phew!

**

Wah, ada Chris! Chris adalah salah satu teman sefakultasku yang memerankan Hans. Pas sekali. Tampang bodohnya itu selalu jadi andalan. 

Sayangnya, aku malah tidak begitu mengenali pemeran Dinda. Mungkin dari fakultas lain. Namun ia cukup berbakat. Ekspresinya terkembang on spot.

Tiba-tiba ponselku bergetar. Siapa yang ingin mengganggu aku menonton? Kutatap layar ponsel yang sudah aku turunkan tingkat brightness-nya. Roy mengirimku pesan singkat:
Lagi ngapain? Gue otw ke rumah lo nih
Buat apa ke rumahku? Apa aku lupa memberitahunya kalau aku menonton premiere film Bill sehingga tidak bisa mengerjakan tugasnya hari ini? Hmm. Seingatku aku sudah memberitahunya. Dengan cepat aku mengetik jawaban: 
Bukannya gue udah bilang gue ga bisa kerjain tugas hari ini? Gue lagi nonton film pendeknya Bill nih, masuk festival film pendek apa gitu. Gue ga di rumah, timing lo jelek banget pas mau dateng
Aku mengirim pesan itu lalu mengunci ponselku. Mencoba untuk memahami film itu kembali. 

Rupanya ceritanya cukup klise. Si perempuan (Dinda) bertemu dengan Hans di kampus dan mereka menyadari bahwa mereka sekampus, lalu Dinda berkenalan dengan Sam, roommate Hans di kampus yang sama. 

Meski awalnya Dinda berasumsi mereka adalah senior kuliahan yang nakal, melalui beberapa kejadian terlihat bahwa sebenarnya Sam dan Hans adalah orang yang cukup perhatian terhadap Dinda. Hal ini meluruskan kesalahpahaman Dinda mengenai mereka, dan mereka pun menjadi sahabat dekat. 

Ponselku bergetar lagi.
Ya maap say. Gue sebenernya mau ngajak lo makan, bukan ngerjain tugas. Tapi lo sibuk sih ya... Padahal gue lagi tumbenan nih naik motor, kan lo bilang mau nyoba sesekali naik motor
Roy lagi. Masih dengan sebutan "sayang"-nya. Padahal sudah kukatakan semenjak aku berhubungan dengan James bahwa kata "sayang" itu off-limits.
Roy, gue udah bukan "sayang" lo lagi. Lo pulang aja, istirahat. Next time kita makan bareng deh, ngajak James juga
Setelah sukses mengirim pesan itu, aku mematikan ponsel. Entahlah apa yang ingin ia katakan. Aku ingin fokus ke film ini. 

**

Sam menghampiriku yang menunggu di kantin kampus, buku tebal memenuhi tangannya. Kelasku sudah selesai dari pagi, namun ia baru selesai sekarang.

"Hans di mana?" Aku menyapanya girang. Hari ini kami sudah janjian menonton bioskop bersama. Lalu jalan-jalan, mungkin makan siang bersama. Hari ini cerah dan matahari menyengat kulitku, namun sekilas dapat terasa wajahku bersinar-sinar karena kesenangan.

"Nggak tau tuh love, katanya nggak enak badan. Mungkin hangover dari semalam," jawabnya sepintas. 

Tangan Sam dengan cekatan langsung memindahkan beban dari bukunya ke satu tangan, sementara tangannya yang lain meraih tanganku. Aku membalas uluran tangannya dengan menjalin jari kami. Ia menarikku mendekat dan mencium rambutku sementara aku berpikir. 

Sejujurnya, aku tidak menyangka kalau Hans adalah tipe yang menyukai pesta. Terlebih lagi, suka minum-minum. Meskipun tampangnya kadang terlihat seperti zombie, seringkali sebabnya adalah karena kebiasaannya tidur larut malam. Untuk belajar. 

Aku menghela napas.

"Kenapa, love?" Sam mengusap-usap kepalaku dengan lembut. Ia melepaskan tangannya untuk membuka pintu mobil belakang sementara aku meraih gagang pintu mobil depan. 

"Kepikiran Hans aja," jawabku kasual. 

Sam menatapku dan mengernyit. Sambil berjalan ke sisi kemudi mobil dan membuka pintunya, ia menyindir, "kamu sayang banget yah sama Hans." 

Aku menyelipkan tubuhku ke dalam mobil dan tertawa. "Kan dia temen homo-an kamu, Sam." Dengan satu ayunan aku menutup pintu. 

"Aku baru tahu kamu oke-oke aja aku homo." Dia tertawa sarkastis. Setelah menutup pintunya, ia menyalakan mesin, menyetirnya mundur ke luar dari lot parkirnya. Dalam satu putaran mulus mobilnya sudah berada di jalan menuju arah ke luar tempat parkir. 

Perjalanan itu terasa sunyi hingga kami mencapai ke ujung jalan menuju jalan raya, ketika aku akhirnya memecah kesunyian dengan sebuah ide. "Sam, gimana kalo nontonnya kita undur lain hari aja? Biar sama Hans aja nontonnya, kalo dia udah baikan."

Sam mengedik ke arahku sambil menyetir mobilnya belok ke kiri. Ia menyalakan radio yang sedang memutarkan lagu Sing oleh Ed Sheeran sambil menyeletuk, "nggak fair. Aku pacar kamu tapi harus nyerah terus."

Aku mengelak sambil tertawa lebar. "Nggak sih! Baru..." Aku membentangkan jariku lalu menghitung. Satu, dua... "Baru dua kali!" 

"Pokoknya kita harus jalan-jalan hari ini." Sam bersikukuh dengan wajah sok serius. 

"Yaudah, kita makan aja terus pulang."

"Nggak. Pokoknya harus makan terus nonton terus pulang."

"Yauda deh nggak usah nonton tapi kita makan terus beli buah buat Hans dan jajanan buat di rumah kamu terus pulang."

"Deal."

"Deal." 

Kami melakukan tos sementara Sam memutar mobilnya. Tanpa terasa, kami sudah tiba di Grand Indonesia, dan aku sedang berjalan di samping Sam yang menggiring troli sementara aku memata-matai buah segar.

"Ayoo, aku mau cari chiki segarrr," Sam merengek manja sambil mendorong troli dengan malas. 

"Mana ada chiki segar?" Aku memelototinya lalu menahan tawa melihat wajah memelasnya yang gagal. "Lucu. Udah, abis aku ketemu buah naga kamu bebas mau milih apapun. Kan rumah kamu juga, snack kamu juga."

Setelah aku mengambil buah naga dan menimbangnya, gantian aku yang mendorong troli. Sam menyentuh pinggangku dari belakang dan mendorongnya lembut ke arah lorong snack-snack. 

"Ayo, kita pilih snack sehat buat Dinda," ia mencium leherku dari belakang, sukses membius wajahku menjadi merah bersemu. 

"Hus!" Aku memukul tangannya karena malu. Sam tersenyum misterius sambil menyorongkan wajahnya ke depan untuk menatapku. 

"I'm glad you are mine, love.

*

Setelah berbelanja ria (yang rupanya menghabiskan waktu yang sama panjangnya dengan menonton satu film panjang layar lebar), kami memutuskan untuk pulang. Sam berhasil memaksaku untuk makan es krim Pangoa, padahal aku sedang berusaha mempertahankan lingkar pinggangku yang baru saja menyempit beberapa senti. Sementara perjalanan aku berganti memaksanya membantuku menghabiskan es krim itu, menyuapinya dengan paksa. Namun kami menikmatinya. 

Aku memasuki apartemen Sam dan Hans, melepaskan sepatu sneakers-ku, menempatkan barang belanjaan dan barangku di lantai lalu dengan lesu dan kelelahan langsung membantingkan tubuhku ke atas sofa. Badanku terasa ringan dan untuk sebentar, kepalaku terasa pening. Aku memijitnya pelan. 

"Masuk ke kamar aja, love," Sam menyarankan. "Kamu keliatan capek banget. Hans juga ada di dalam kok." 

Sam berjalan ringan antara ruang tengah-dapur-ruang tengah-dapur memindahkan kantung dan barang belanjaan yang baru kami beli. Apartemennya terlihat bersih dan rapi hari ini, dengan jendela setengah terbuka memperlihatkan pemandangan senja kota. Ternyata setelah aku perhatikan lagi, apartemen Sam dan Hans cukup besar, dan penataan ruangnya cukup minimalis. Sayang saja seringkali barang-barang yang berserakan merusak estetika apartemen ini. Wallpaper bermotif futuristik berwarna hitam-putih-abu menegaskan suasana terang pada siang hari yang didukung simbahan sinar matahari dari pintu kaca balkon jika tirainya dibuka. Sementara saat langit gelap, tirai berwarna keperakan menutupi pintu kaca balkon, memberi kesan nyaman dan elegan. Satu pot putih kecil berisi tanaman hijau adalah satu hal yang mencolok dan menjaga kesan natural dari ruangan itu. Sementara itu mayoritas furnitur di ruangan berwarna hitam dan putih, contohnya sofa hitam di mana aku sedang menggeliat saat ini. Setelah meregangkan tanganku dan meluruskan kakiku, aku bangun lalu berjalan ke lorong yang menghubungankan ruang tengah dengan kamar. 

"Sam, aku di kamar ya!" Seruan kosongku mengisi lorong, kuarahkan ke dapur. Diam-diam aku berharap melihat Hans tertidur pulas di kamar, namun baru saja aku bergerak memegang gagang pintu kamar Hans, pintu itu terbuka. 

Hans terlihat seacak-acakan seperti saat kami pertama bertemu, seperti biasanya. Wajahnya agak pucat, seperti biasanya juga. Namun hari ini sorot matanya seolah jijik padaku sementara ia melangkah mundur sejenak. Mengabaikan perilakunya, aku bersiul dan memasuki kamar sementara Hans berjalan-kalau tidak berlari-ke kamar mandi. Aku menahan senyumku mendengarnya. Suara kakinya yang melangkah cepat namun gontai terhadap lantai berubin berdentum seperti drum.

Kamarnya dan Sam terlihat rapi, tidak seperti yang kubayangkan. Bukan tisu yang berserakan di lantai, tapi sketsa-sketsa bangunan milik Hans yang bertebaran menutupi lantai kayu. Terpaksa aku harus bermain lava land, berjingkat-jingkat mencoba tidak menginjak sketsa-sketsa Hans menuju tempat tidurnya yang luas. Penasaran kenapa Sam sering kuejek homo-an dengan Hans? Lihat tempat tidurnya. Satu queen size bed untuk mereka berdua. Spreinya hari ini berwarna keabuan dan aku bersyukur tidak melihat kotoran dalam bentuk apapun di atasnya. Aku melompat ringan dan jatuh terlentang ke atasnya. Benda yang ikut memantul denganku hanyalah sebuah buku ekonomi tebal dan bolpoin yang bersandar di sebelahnya. Aku membuka-buka halamannya yang penuh terisi coret-coretan catatan atau penyelesaian soal. Penasaran akan pikiran Hans, aku dengan sengaja membuka salah satu halaman dari buku itu dan membaca catatan-catatan pinggirnya, ketika Hans memasuki kamar ber-wallpaper garis abstrak (hitam-putih, lagi) ini. 

"Ngapain lo?" Suaranya sedikit tercekat dan kasar. 

"Iseng. Nyari rahasia terdalam lo, ha-ha." Aku menatapnya menantang, tertawa sarkastis. Hubungan kami memang bukan hubungan biasa. Lebih seperti kakak dan adik kandung. Mayoritas dari waktu kami dihabiskan saling menyindir atau bertengkar, namun dalam hati kami tahu, kami saling menyayangi dan menjaga satu sama lain.

Hans mengumpulkan cepat sketsa-sketsanya dan buru-buru memindahkannya ke satu sisi ruangan (dengan melemparkannya kasar) lalu menyabet buku itu dariku. Aku menatapnya menuntut. 

"Kenapa?"

"Bukan urusan lo."

Tatapanku masih sama nanarnya dan sama menantangnya sementara ia mengambil ruang di sebelahku, sontak mengambil laptopnya dari meja sebelah tempat tidur lalu membuka Microsoft Word. Mengerjakan laporan, tebakku. Karena bosan, aku iseng mengintip ke layar laptopnya, mencoba untuk membaca setiap kalimat yang diketikkannya. Setiap kata aku ucapkan dengan cara mengganggu. Sebelum ia berbicara seperti biasanya, tanpa harus jadi mengesalkan, aku akan terus mengganggunya. Lagipula, raut wajahnya yang kesal selalu berhasil membuatku kegirangan. 

Nah, itu dia. Raut wajah itu muncul. Ia melirikku kesal, menutup jendela Microsoft Word berisi tugasnya, lalu membuat dokumen Word baru. Segera setelah lembar kosong itu muncul, ia mengetikkan satu kalimat, sebuah dialog dari When Harry Met Sally:
What I'm saying is — and this is not a come-on in any way, shape or form — is that men and women can't be friends because the sex part always gets in the way.
Aku menatapnya kebingungan tapi masih mengejek. "Galau yaaa? Mending lo kerjain tugas, be-"

Kalimatku tertahan oleh tekanan dari bibir yang menyentuhku. Aku mampu merasakan temperatur hangat bibirnya, tekstur lembut bibirnya, dan dapat kurasakan pipiku memanas, wajahku bersemu merah membara. Perutku melilit, seperti ribuan kupu-kupu baru saja hinggap di atasnya. Jantungku berdegup kencang, rasanya ia melompati detak seharusnya. Dapat kurasakan lidahnya menjilat bibirku samar ketika Hans akhirnya menarik dirinya dariku. Kepalaku sempoyongan. Jika ini adalah film kartun, akan ada bintang-bintang berputar di atasku. 

"If you ever asked me how I feel about you, that'd be my answer." Kalimatnya mengambang di udara seperti angin tertahan; seperti awan. Suaranya mulai normal, aku tahu ia sadar. Aku tahu ia mencoba untuk terdengar tegas, meski ada keraguan di nadanya. Aku tak ingin percaya ini nyata, kalau ini semua terjadi. 

Namun ini benar-benar terjadi. Karena saat aku menjilat bibirku, rasanya seperti rasa es krim stroberi yang kusorongkan pada perutnya saat pertama kali kami bertemu. Hans tak pernah berubah. Namun kesadaranku seolah menampar dan dengan gegabah aku meraih bantal terdekat dariku dan menyeka bibirku dengan sarungnya. Ini bukan pertama kalinya aku dicium, seharusnya ini bukan masalah. Sam terkadang menciumku. Namun masalahnya: (1) Hans menciumku, dan (2) ia mampu membuatnya terasa... berbeda. Seolah ini pertama kalinya aku benar-benar dicium seseorang. Dan ini semua menghancurkan pikiranku, membuat kepalaku berantakan. 

Aku menghela napas, mengumpulkan segala kekuatanku menjadi sebuah suara yang, tidak terlalu keras, namun cukup mengintimidasi untuk menyadarkannya bahwa sejujurnya, aku berusaha keras untuk marah sekaligus desperate untuk memahami pikirannya. "Lo kenapa sih?" Suaraku tercekat. Emosiku berdesir keluar, karena kutahan berubah menjadi bulir air mata kecil menuruni pipiku. Aku menyekanya cepat. 

Hans bahkan tidak bergerak. Hans tidak menatap, bahkan tidak melirik ke arahku. Ia menutup jendela Microsoft Word lalu menutup layar laptopnya. Setelah menempatkan laptopnya di samping ranjang, ia membaringkan tubuhnya miring ke arah jendela. Membelakangiku dan wajahku yang masih merah sembap. 

"Hans, gue berusaha keras untuk memahami lo sekarang Hans, please, jangan lakuin ini ke gue," aku tercekat, "gue ga mau hal ini jadi beban di antara kita-" suaraku tertahan, "gimana kita bisa temenan kayak dulu lagi kalo lo udah ngelakuin ini ke gue."

Aku membenamkan wajahku ke dalam bantal. Aku tidak akan bisa menatap mereka dengan cara yang sama lagi. Aku tidak yakin bisa menatap Sam setelah ini. Rasanya sekarang menyakitkan. "Hans, kenapa lo jahat sama gue?" Suaraku parau. Seharusnya aku tahu. Seharusnya ia tahu.

Semua hubungan, pada dasarnya akan hancur. Jika saja kita semua tidak cukup egois untuk menghancurkannya. Sayangnya, aku tak berdaya. Aku jatuh. Jika akhirnya semuanya ini berakhir, aku juga patut disalahkan. Karena sejujurnya mungkin, kami tak bisa saling mengerti.

Ketika beberapa menit kemudian Sam memasuki kamar, aku menengadahkan kepalaku kepadanya, berusaha keras untuk menatap ke matanya lalu tersenyum lemah. 

"Love, Hans nggak apa-apain kamu 'kan?" Sam bertanya jenaka. Aku tahu itu pertanyaan canda, namun emosiku yang baru saja naik-turun sukses membuatku menganggapnya sungguhan. Lagipula, buat apa aku berbohong? Memang ini kenyataannya. Hans menciumku. 

"Dia apa-apain aku. Tanya aja sendiri," jawabku datar. 

Hans mengernyit sambil masih tidak berkutik dari posisinya. 

"Lo ngapain pacar gue, Hans?" Suaranya masih santai meski ada setitik nada khawatir. 

Sekarang aku yang ketakutan. Seharusnya aku tidak menjawabnya seperti itu. Sekarang aku akan mati. Karena mungkin Hans akan mengatakan yang sebenarnya. Aku harus bersiap untuk kehilangan Sam. Aku tidak ingin kehilangan Sam. Aku harus berucap sekarang sebelum Hans mengatakan apapun. 

"Dia cuekin aku!" Aku menahan suaraku seperti canda meski aku tahu sebenarnya aku hanya menutupi aibku. Sepertinya Hans juga tahu maksudku, karena kontak matanya dengan Sam berhasil membuat Sam tersenyum sayang ke arahku. Aku tertawa pahit. 

Sam berjalan ke sisiku yang sedang duduk memeluk bantal yang sarungnya baru saja kujadikan lap. Tubuhnya yang menjulang mendekatiku ke atas kasur, membungkuk sementara ia mencium keningku hangat. "Kamu mau pulang sekarang?"

Sepertinya aku sudah terlalu lelah untuk melakukan apapun, karena aku mengangguk dan tersenyum pedih sementara Sam membopongku keluar dari kamar. 

"Dinda," Hans bergumam dari posisinya yang masih sama, "es krim favorit gue adalah es krim stroberi yang hari itu lo bawa." Sam hanya mengernyit kebingungan. Namun kalimat itu terngiang di kepalaku. 

Seusai Sam memindahkan semua barangku yang tertinggal di apartemennya ke apartemenku, kami menonton CSI:NY bersama hingga aku jatuh tertidur. Meski tertidur, aku mampu merasakan lambat laun tangannya yang melingkupi tubuhku menghilang, dan mendengar samar pintu apartemenku dikunci olehnya. Ia menggunakan kunci cadangan yang kuberikan padanya, pikirku. Kami saling memegang cadangan kunci, supaya jika ada barang kami yang tertinggal, kami bisa mengambilnya dengan mudah. 

*

Beberapa jam kemudian, aku mendengar ponselku berdering. Dengan malas aku menyalakan layarnya dan menemukan 5 missed call dari Sam. Ada apa? pikirku. 

Aku membuka SMS terakhir dari Sam untukku. 
Untunglah, efek obatnya sukses di Hans. Sekarang dia udah agak membaik. Kamu mau jenguk ga, Din? Maaf aku jadi ngebangunin beauty sleep kamu :( but this is sorta urgent
Aku mengernyit sebelum bersiap ke rumah sakit. Ada apa dengan Hans?

**

Dan... credits mulai berputar. Aih, filmnya berakhir gantung banget! Meskipun bagus sih. Tidak ada dialog di dalam hati yang diucapkan dengan kata-kata ngambang. Semuanya antara dengan flashback atau pure ekspresi. Wah, dapat kukatakan film ini cukup sukses untuk kali pertama. Seusai credits dan lampu mulai dinyalakan, aku menghela napas lalu kembali menyalakan ponselku. Ada 5 missed call menungguku dari James. Ada apa? Aku bukan orang yang supertitious jadi kuanggap itu hanyalah kebetulan. 

Sambil berjalan keluar, aku membuka SMS terakhir dari James. 
sorry babe, cant pick you up from the cinema. roy got in a car accident
Loh...?

***

Sunday, July 13, 2014

Coming up:

New projects coming up this year (or this July):

I'm working on 2 novels at once! I dunno which one will finish first but both of them had gone to quite serious storyboarding so I hope they'll finish soon. Meanwhile, I'm postponing the Another Chance series since I got stuck after writing the three chapters. I tried finishing it once as a short story and well, it really didn't turn out to be that great. Kinda felt like Narnia turned upside down. 

So, I decided on a fresher plot and apparently, more humane characters. The names are:

- Lights Off 

(that's the cover I designed, by the way. It's still in the making)

This one is, just like Another Chance, a sci-fi. It's in Bahasa, and I planned to translate it into English. It's not about a glowing girl, in case you wondered. More about it later on, I'll keep an update. 

- Foster

(I designed this cover too)

This is actually my lame effort to participate in the NaNoWriMo, and to be honest I worry it won't finish by the end of July, but hey, at least I tried. It's simple, it's a drama, a little romance, no sci-fi. Purely slice of life. It's in English, since I registered it in the NaNoWriMo Camp. Please spare a visit there!


And, I'm currently also finishing my short story, Kembar (if I could translate it in English, I would change the title into Intertwined). It's about a girl watching the movie when she realized at the end that the whole movie kinda predicted and depicted her life. I'm currently editing it so it's gonna hit the blog pretty soon once I'm done with it. Ooh, I'm so excited!

So in the meantime, keep up with me and stay updated. Thank you! ;)

say it in your language.