Pages

Wednesday, April 9, 2014

Brother's Drive

"Glenn Budikarsa, you are never going to drive again!" Karina berjalan cepat, suara high-heels-nya mengetuk-ngetuk lantai sementara langkahnya besar-besar memasuki kamar rumah sakit itu. Glenn memandangnya lalu mengerang.
"Seriously sis, that's not the proper way to visit or to congratulate your 'saved-from-death' brother," Glenn mengangkat tangannya setengah jalan.
"How can I not be furious if you have injured yourself in a car accident for THREE times?!" Karina berseru, cukup keras untuk membuat pasien-pasien di kamar itu menoleh padanya.
"Come on darling, please let him be," Tante Anita, ibu Karina dan Glenn yang duduk di samping tempat tidur tempat Glenn berbaring, menenangkan kedua saudara yang lebih terlihat seperti bersitegang itu. "You look tired, just like your brother. Why don't you sit down here and look--"
"I'm tired, but I'm not the one with injured feet and a brain seizure," Karina berdeham, "have you made sure that he is not getting more retarded?"
"HEY!" Glenn mencoba bangkit dari tidurnya yang dilanjutkan dengan erangan kesakitan.
"Oh, come on, you have all too grown up to fight. Bunda pengen makan, Karina, kamu jagain Glenn dulu ya." Tante Anita beranjak dari tempat duduknya, lalu berjalan ke luar kamar. Sembari berpapasan dengan Karina, Tante Anita berkata, "Bunda nggak mau dengar ada yang berantem di antara kalian." Lalu ia pergi.
Karina duduk di bekas tempat duduk ibunya, diam-diam terlihat khawatir. "Hey, how bad does it feel?" Karina mengulurkan tangannya, menyentuh punggung telapak tangan Glenn yang terkulai lemas di samping tubuhnya.
Glenn memandangnya. "Not bad. Pretty badass." Ia tersenyum. Karina hampir saja menjitak kepalanya.
"Bodoh. Lo mau mati?" Karina berbisik. "Udah, jangan kecelakaan terus dong, Glenn." Karina tersenyum perih.
Dengan tangannya yang bebas, Glenn mengacak-acak rambut Karina sambil tersenyum lemah. "You don't have to worry, sis."
"Yep. And that's why, SIM lo udah gue blokir." Karina merapikan rambutnya kembali dengan satu kibasan.
"Apa?"
"SIM lo udah gue blokir. Lo serem sih, tiap nyetir kecelakaan mulu. Haram tau nggak?"
"Tapi nggak adil! Ntar siapa lagi yang nyetir?"
"Gue."
"Ih, emang Bunda setuju?"
"Dia yang nyuruh malah."
Glenn cemberut.

*

Memang, kejadian ini bukanlah yang pertama kali. Sudah dua kali Glenn mengalami keadaan yang sama.
Kecelakaan pertama, patah tulang lengan dan gegar otak ringan.
Kecelakaan kedua hampir membunuh orang yang ia tabrak sekaligus merusakkan motor orang yang ia tabrak.
Kecelakaan yang ini, mematahkan tulang kakinya dan gegar otaknya cukup parah. Ia terlempar dari mobil. Keajaiban karena efek dari kecelakaan itu tidak terlalu parah. Seluruh keluarga panik.
Semua terjadi dalam rentang waktu kurang dari dua tahun.
Rasanya seolah-olah hobi Glenn adalah ke rumah sakit dan menghancurkan mobilnya.
Duh.

*

"Kita ngapain ke sini sih, Rin?" Glenn mengerang pelan sementara kursi rodanya digiring melewati lantai batu bata di Pasar Baru. Karina sendiri sibuk melihat sana-sini, memata-matai toko kain.
"Gue mau cari kain. Udah, nurut aja. Ntar gue traktirin es krim di AW sono, tuh." Karina terus berjalan dan mendorong kursi roda Glenn asal. Hampir saja menabrak tukang kue jajanan pasar di depannya.
"Emang dipikir gue anak kecil?" Glenn cemberut. "Gue udah kuliah, udah gede tau."
"Ih, kuliah aja nge-sok. Gue udah jadi designer aja biasa-biasa aja. Salahnya sih kecelakaan, jadi dikit-dikit mesti dijagain. Lagian Bunda juga yang nyuruh." Saat itulah Karina berhenti.
"Gue ga pernah setu--" Glenn melihat Karina yang tampak terpana dengan sebuah toko kain. "Ih Rin, lo kelihatan aneh."
"Diem lo. Ah, sayang sih, jauh jaraknya." Karina menghela napas. "Coba aja lo nggak ikut. Nggak perlu gue dorong kursi jalan keparat ini."
"Dasar nggak ikhlas."
"Mana jalannya sempit lagi, kursi roda ini ga akan muat..." Ia menggumam pelan. "Udah, kita beli es krim aja," ujar Karina sambil manyun. Sebenarnya, Karina ingin melihat kain-kain di dalam toko itu, namun jika ia melakukannya, ia harus meninggalkan Glenn di luar sendirian. Karena itu ia batal melakukannya.
Karina mendorong kursi rodanya, berputar menuju AW. Glenn menoleh ke belakang. "Kok nggak seneng gitu? Udah gede sukanya ngambekan."
"Udah ah, berisik."
"Ih, gejala sadar udah nambah tua ya?" Glenn menyindir.
"Ih, gejala sadar udah gede masih nyusahin ya?" Karina membalas jutek sambil menyodorkan es krim yang sudah ia beli.
"Gue sih masih muda." Glenn mengambil es krim itu dari tangan Karina. Sengaja, ia mengoleskan tumpahan dari es krim cone vanilla itu ke punggung jari jempol tangan Karina.
"Oi!" Karina mengusap-usap tangannya yang terkena es krim, lalu mengambil es krim miliknya dari petugas kasir. "Jangan mentang-mentang kelihatannya muda terus tingkahnya jadi kayak anak kecil dong!"
"Iya deh, Kak. Yang makin tua makin bijak." Glenn menyindir. "Ih, keningnya berkerut."
"Udah deh, makan aja."
Sambil makan es krim, Karina mulai berpikir tentang desain pakaian yang ingin ia bawakan untuk fashion show keduanya di Jakarta Fashion Festival nanti. Kain-kain itu, pikirnya. Jika motif kebaya merah tadi kucampur dengan motif satin? Ah, biasa. Karina terus berpikir, mengenai model-model yang seharusnya ia pilih, bagaimana "cerita" dari desainnya, semuanya tumpang tindih di benaknya.
"Eh, jangan kebanyakan bengong juga," Glenn menegur.
"Huh?" Karina menegakkan kepalanya.
"Liat tuh, esnya mencair!" Glenn menunjuk kepada es krim Karina yang sudah mulai menetes tumpah.
"Eh!"

*

"Mikirin, apa sih tadi, Rin?" Glenn menyeletuk dari dalam mobil sementara Karina melipat kursi roda Glenn dan menjejalkannya di dalam bagasi mobil.
"Nggak penting." Karina menjawab asal, acuh tak acuh.
"Jangan bilang, Karina, desainer kita, udah punya pacar?!" Glenn bersikap antusias. "Galau ya?"
Karina yang sekarang sudah berada di dalam mobil, tepat di kursi supir, menjitak kepala Glenn yang mencuat dari kursi belakang dengan keras. "Bukan, dodol! Mana ada orang galau makan es krim sampe meleleh!"
"Ih, gue kalo lagi galau gitu."
"Gue nggak nanya." Namun lalu Karina menyadarinya dan menoleh ke kaca dasbor, berbicara ke pantulan Glenn sambil menyalakan mesin. "Oo, jadi adek gue lagi punya pacar?" Ia menyeringai.
Glenn menggeleng cepat. "Bukan gitu maksud gue--! Ah, ga seru nih!" Glenn cemberut. "Jadi, lagi mikirin apa?"
Karina menghela napas. "Dasar tukang ganggu. Gue lagi mikirin fashion show gue, tau. Meskipun masih tiga bulan lagi, gue sadar udah ketinggalan schedule. Orang udah ngejahit kali, gue masih mikirin konsep fashion show-nya.
"Eh iya, velcro bagus ga sih kalo digabung kebaya?" Karina menoleh ke Glenn dan menemukannya tertidur. Karina menghela napas (lagi).

**

Hari-hari berlalu cepat. Tanpa disadari, event Jakarta Fashion Week sudah semakin dekat. Seminggu lagi, tepatnya. Karina hampir selesai menjahit desain-desain pakaiannya untuk show nanti. Melalui bantuan partner-partnernya, Karina mampu menyelesaikan sebagian kecil dari koleksinya yang akan ditampilkan nanti.
Memang, Karina belum menjadi designer besar dalam industri ini. Kali ini ia hanya diperbolehkan untuk menampilkan maksimum 15 piece saja.
Namun hal ini tidak menyurutkan semangatnya. Ia membuat hampir semua bagian dari outfit-nya secara hand-made.  Bahkan aksesorinya dijahit oleh tangan. Karina sebisa mungkin mengurangi pemakaian mesin. Sebagian besar bagian dari karya Karina adalah long dress, meskipun diberi sentuhan edgy dan senada dengan budaya Indonesia. Banyak sentuhan batik di karyanya, dengan cara yang anggun dan tidak memaksa.
Karena kesibukan, Karina seringkali tinggal di workshop kerjanya dan tidak pulang. Ia biasa tertidur di workshop kerjanya. Setiap piece bisa membutuhkan waktu 3-5 hari untuk benar-benar selesai. Selama hari-hari itu pekerjaan Karina hanya bangun, makan, kerja, tidur. Sesekali mandi dan buang air tentu saja.
Sementara itu, kondisi Glenn sudah membaik. Masih dalam terapi seusai kecelakaan, ia dengan mudah beradaptasi dengan terapinya. Dalam waktu beberapa minggu Glenn sudah diijinkan untuk melakukan rawat jalan—terapi di rumah.
Rumah keluarga Glenn dan Karina memang memiliki lingkungan yang lebih mendukung daripada suasana di rumah sakit. Berada di kawasan Kemang, rumah mereka memiliki halaman yang cukup luas untuk memuat sebuah kolam renang untuk keluarga. Tante Anita juga mengajar tari, sehingga ada studio tari yang cukup luas di dalam rumah. Sehari-hari, Glenn akan berlatih untuk berjalan kembali dengan normal di ruangan itu.
Tanpa disadari, ulang tahun Karina semakin dekat pula. Suatu hari, Glenn dengan bertumpu di bar pegangan studio tari berpikir untuk mencari hadiah yang tidak biasa untuk ulang tahun kakaknya yang menginjak umur 28 beberapa hari lagi.
Sambil mencoba berjalan lagi, tiba-tiba Glenn teringat sesuatu. Dan menemukan ide yang luar biasa untuk hadiah ulang tahun Karina.

**

"Halo?" Karina mengepit ponselnya di pundak sementara ia mengambil gantungan baju dan memasangkan tas di modelnya. "Apa? Ganggu lo Glenn, gue lagi kerja nih!"
"Halo, Karina...?" Terdengar suara isakan di seberang. Suara Tante Anita.
"Lho, Bunda? Bunda kenapa telepon pakai HP Glenn?" Pertanyaan Karina hanya dibalas isakan dan helaan napas.
"Bunda? Bunda kenapa? Aku ke sana sekarang ya, Bunda dimana?
"Rumah sakit? Iya, aku ke sana sekarang." Karina langsung menjejalkan tasnya ke model di depannya lalu mematikan telepon. Dengan tergesa-gesa ia memasukkan ponsel itu ke dalam tasnya, sekalian juga dompetnya. Ia langsung menjambret tas itu dari meja dan berlari pergi.
Stella, partnernya yang sedang menjahit, kebingungan melihatnya. "Eh, lo mau ke mana? Masih ada satu baju lagi nih!"
"Sori, talangin dulu kerjaan gue, foto aja hasilnya! Gue harus pergi!"

*

Bau antiseptik mengisi udara. Terlihat perawat-perawat berseliweran di bagian UGD rumah sakit ini. Karina yang khawatir langsung bertanya kepada perawat pertama yang dilihatnya ketika masuk.
"Mbak, pasien yang namanya Glenn Budikarsa di mana ya?" Perawat itu hanya menggeleng tidak tahu dan menyuruh Karina untuk bertanya ke meja resepsionis. Karina dengan putus asa menghampiri meja itu. Di belakangnya ada seorang perawat yang sedang sibuk di depan layar komputernya.
Usai bertanya menggunakan semua nama yang bisa ia gunakan (Glenn Budikarsa, Anita Wikarsa, bahkan namanya sendiri, Karina Budikarsa), akhirnya perawat itu mampu memberikan lokasi Glenn dan Tante Anita. Karina berjalan dengan langkah-langkah besar ke salah satu bangsal UGD yang berada di ujung kanan.
Setibanya di depan ruangan itu, ia menghela napas. Mengumpulkan kekuatannya untuk menghadapi apapun. Toh, aku sudah sering melihat wajah adikku bonyok ataupun tubuhnya remuk parah (secara harfiah), pikirnya. Dengan hati-hati, ia mengetuk lalu membuka pintu.
Terlihat Tante Anita bersandar di tembok sisi pintu di samping tempat tidur Glenn. Glenn sendiri terlihat lebam dan memar di bagian dahi, dengan kakinya yang tertutup oleh selimut. Ia tampak tertidur lelap, entah atau memang tak sadarkan diri. Mata Tante Anita tampak berair namun tidak terlalu bengkak. Karina hanya bisa memandangnya kebingungan.
"Bunda... Glenn kenapa lagi?" Karina melangkah masuk dengan pelan dan hati-hati, tidak ingin membangunkan siapapun. Terlihat di samping tempat tidur Glenn ada tirai tebal, menyiratkan kemungkinan adanya pasien lain di sebelahnya.
Tante Anita tampak mengucek-ucek matanya dan mencubit hidungnya samar. Ia seolah baru sadar Karina sudah datang dari tadi. Langsung ia menegakkan tubuhnya, lalu berdeham. "Glenn kecelakaan... Lagi." Tante Anita tampak menahan isakannya. "Kata dokter, dia bisa nggak akan pulih lagi kalau terus begini...
Gegar otaknya itu kan baru sembuh... Kakinya juga baru pulih... Tapi sudah langsung kecelakaan lagi..." Tante Anita terisak. Karina juga ikut sedih, tapi ia agak bingung dengan bayangan tangan bergerak di balik tirai samping tempat tidur Glenn. Mungkin yang sebelah, pikir Karina.
"Karina, maaf ya Bunda malah ngerepotin kamu... Padahal hari ini 'kan hari ultah kamu..." Bunda terisak.
Karina baru sadar hari ini adalah hari ulang tahunnya. Project untuk Jakarta Fashion Week ini sudah menyita banyak sekali waktunya, ia sampai lupa untuk menyempatkan hari ulang tahunnya untuk keluarga. Diam-diam Karina merasa bersalah. Ia pun melangkah mendekati Tante Anita, lalu memeluknya.
"Aku justru yang minta maaf Bunda, aku nggak bisa jagain Glenn meskipun harusnya aku sempetin hari ini bersama kalian..." Karina mengusap setitik air matanya sambil memeluk Tante Anita.
Tiba-tiba Karina terpikir sesuatu. Ia melepaskan pelukannya dari Tante Anita. "Tunggu. Bunda, Glenn kecelakaan di mana? Kok bisa kecelakaan?"
Karina mulai curiga. Kok bisa-bisanya Glenn kecelakaan? Seharusnya ia tidak keluar rumah... Lalu, ponsel itu... Semuanya terasa janggal.
"Bunda, Glenn beneran kecelakaan?"
Terdengar suara menyahut di belakang. "Ya iyalah beneran kecelakaan."
Karina menoleh ke belakang. Terlihat Glenn sudah membuka matanya sadar, seolah sudah lama sadarkan diri.
"Glenn--" Karina tergagap.
"Buat apa gue ke rumah sakit, UGD lagi, kalo bukan karena ada yang memar gini. Lo nggak bisa liat apa gue memar-memar gini?" Glenn menyeringai lemah.
Karina melihatnya dengan emosi campur aduk. Antara ngilu, kesal, lega, dan banyak lagi. Rasanya seperti ingin menonjok Glenn namun juga ingin menangis karena tahu ia akan baik-baik saja. "Sial lo Glenn! Gue pikir lo bakal mati, tau nggak! Kalo sampe lumpuh selamanya, rasain deh!" Karina berseru dengan penuh emosi hingga air matanya mengumpul di pelupuk.
Glenn pun mulai merasa kasihan setelah puas mengacak-acak emosi Karina. "Yaudah Rin, maapin gue deh... Kan hari ini lu..."
"ULTAH! 'MET ULTAH YA DESAINER KITAAA!!" Terdengar teriakan dari belakang tirai sementara tirai itu terbuka. Di belakangnya ada teman-teman terdekatnya, ayah, dan kerabat dekat Karina yang lain.
Salah satu temannya menyodorkan kue ulang tahun ke Glenn dan dengan tangan gemetaran ia mencoba menadahnya. "Rin, sini dong, tiup lilin..." Kue cheese cake itu sudah dihiasi lilin bertuliskan "28", dan Tante Anita sudah berdiri di sebelah ayahnya, keduanya berangkulan di belakang Glenn.
Karina ngeri sendiri melihat tangan Glenn yang gemetaran dan langsung dengan tergopoh-gopoh mengambil kue itu dari tangannya yang lemah. "Make a wish, dear..." Tante Anita berbisik.
Karina memejamkan mata, mengharapkan kesuksesan berawal dari Jakarta Fashion Week di umurnya yang bertambah ini. Setelah itu dengan cepat ia meniup lilin yang berbaris rapi di depannya.

*

Kue telah rahib dilahap semua orang. Semua kerabat dan keluarga Karina yang mengunjungi sudah pulang. Tante Anita sedang ikut turun mengantarkan mereka pulang dengan ucapan terima kasih.
Hasil dari acara kejutan itu adalah hadiah sebuah studded bag merk Kate Spade dari Tante Anita, yang cukup besar untuk menempatkan barang-barang Karina yang sepertinya semakin hari semakin bertambah sejalan tuntutan pekerjaannya. Ayahnya memberikan dia jam tangan baru, dengan alasan "tidak tahu harus membeli apa". Teman-temannya memberikan Karina parfum Victoria's Secret.
Tersisa Karina dan Glenn di kamar itu. Karina duduk memandangi Glenn yang masih terkulai lemah di tempat tidur.
Karina menyentuh memar di dahinya dengan hati-hati, diiringi erangan mengaduh dari Glenn. "Ini memarnya beneran?"
"Ya iyalah beneran! Eh, gue belum kasih lo kado loh."
"Ah, ga penting. Asal lo ga mati gue seneng. Lo lumpuh pun gue juga masih bisa bersyukur."
"Ah, padahal gue berharap setelah ini lo bakal lebih sayang gitu sama gue, bukannya nyumpahin ga keruan."
"Eh, yang penting sekarang tuh kok bisa lo kecelakaan lagi. Kronologisnya gimana sih?"
Glenn bergumam, "ah, gue pikir lo bakal ngomong apa kek yang bagus-bagus tentang gue pas gue lagi ga sadar gitu..."
"Heh, lo juga pura-pura ga sadar! Sekarang mending lo ceritain kenapa lo bisa kecelakaan lagi." Karina berbicara memaksa dengan gemas.
Glenn menggaruk-garuk kepalanya pelan. "Duh, gimana ya ceritainnya...
Jadi gini, kan tadi pagi gue mau beli kado buat lo di Pasar Baru, naik busway..."
Karina mengangguk-angguk.
"Lalu gue pikir, kalo untuk latihan kenapa ngga coba naik sepeda?"
Memang, meskipun Glenn mengemudi mobil dengan sangat buruk, ia mampu mengendarai sepeda dengan baik. Bahkan pada mulanya, Glenn ingin membuat SIM motor saja. Namun karena Glenn akhirnya dibelikan mobil oleh ayahnya, maka Glenn pun membuat SIM mobil.
"Terus?" Karina menuntut.
"Yaaa, gue nyewa sepeda gitu..
Tapi emang gue apes, jalanan bata itu ternyata susah banget dilalui sepeda!"
Karina terkikik. Dasar adik nekat, pikirnya.
Glenn melanjutkan. "Untung gue sampe ke toko tempat kado itu dengan selamat.
"Orangnya baik lho, dia memberikan gue kado itu dengan cuma-cuma!" Glenn membentuk jari jempol dan jari telunjuknya membentuk "v" dan menempelkannya ke dagu sambil tersenyum lebar.
"Kayak ga ikhlas kalo lo ngomongnya gitu. Lagian gue nanya soal kecelakaannya, bukan hadiahnya." Karina mulai bangkit berdiri dan membereskan meja di sebelah tempat tidur Glenn.
"Ih, dengerin dulu!" Glenn bersikeras. "Dapetin hadiahnya sih nggak apes, pulangnya tapi apes lagi!" Ia berujar seolah ingin menambah efek ketegangan dalam cerita.
"Pas gue pulang, kan naik sepeda tuh, ehh gue nabrak tukang kue gerobak!
Untung cuma memar, tapi sakit juga tuh! Kepala gue duluan yang jatoh, terus udah jatoh gue ketimpa sepeda lagi! Terus abis ketimpa sepeda, tukang kue itu bangunin cuma buat nyuruh gue bayar ganti rugi kue-kuenya jatoh! Apes nggak tuh?" Glenn menyerocos panjang.
Karina yang awalnya menerka-nerka langsung sadar sesuatu. "Jadi, sebenernya lo cuma memar di kepala doang? Terus abis itu lo ngapain ke rumah sakit?" Tubuh Karina seolah hampir menerjang Glenn dan mendorongnya.
Glenn langsung mengelak dan menyilangkan tangannya, melindungi diri. "Eh, tunggu dulu! Dengerin makanya…”
Karina sekarang menyilangkan tangannya di depan dada dengan defensif. Jangan-jangan Glenn dan Tante Anita hanya mengerjainya karena ini hari ulang tahunnya.
“Abis apes gitu ya, gue langsung pulang lah! Naik taksi, orang kepala gue pusing parah kedut-kedut gitu… Begitu ketemu Bunda pas pulang, dia langsung panik, katanya kepala gue lebam gitu! Nggak pake basa-basi, langsung dia bawa ke UGD—“
“Terus kenapa tiba-tiba ada acara ultah gue di sini?” Karina masih menagih jawaban.
“Ya, terus ‘kan kita inget ultah lo (tuh, gini-gini kita maksudnya peduli tau ga!), dan gue udah lama juga ngumpulin yang lain buat surprise ultah lu (gue loh yang mikirin!), lalu muncul deh ide gila ini.” Glenn berbicara seperti membela dirinya sendiri dan memuji dirinya sendiri.
“Emang dasar ide gila.” Karina menghela napas. “But anyway, thanks Dek.”
“Mulai sekarang jangan pake ‘Dek’ mulu dong, ‘Gleen Jenius’ gitu…” Glenn menggoda.
“Lo mau gue jitak?” Tangan Karina sudah mengepal seolah menggertak namun bercanda. Mereka hanya tertawa. Ketika akhirnya Karina duduk kembali seusai membereskan meja dan menyampirkannya di tempat tidur, Glenn menyelipkan sesuatu ke tangannya.
Katalog kain dari toko yang Karina tak sempat kunjungi sewaktu pergi ke Pasar Baru bersama adiknya beberapa waktu yang lalu. Teksturnya yang lembut menyapu telapak tangan Karina. Karina tersenyum lebar ketika melihatnya.
“Jadi ini kado yang lo maksud? Kado pembawa apes?” Karina bertanya mengejek kepada Glenn.
“Cuma supaya lo tau usaha sebesar apa yang gue lakukan untuk dapetin kado ini.”
“Makasih banget, Dek. Pasti lain kali gue pake. Sayangnya, pameran gue besok. Dan yeah, ini udah gue dapetin waktu gue pergi lagi ke sana tanpa lo.” Karina tertawa lebar.
Ia menonjok pelan buku-buku jari tangan Glenn sambil tersenyum tulus. “But still, thank you.”

***

Hey :)
Sorry for not posting for a long timeee, been very busy with school :(
Well anyway, just as usual, I got stuck with my old novel projects and decided to give the old short stories a try.
It was worthwhile, and worth the pain too. :')
Sooo, send me your inputs and insights! Would love to hear 'em. 
I hope to keep you posted. Or else, visit my twitter: @theYtalks.
Wish too hear you soon!

say it in your language.