Pages

Sunday, April 7, 2013

Another Chance: Set 1

Kate: How Does It Feel to Die?


  Sakit menjalari tubuhku. Sesuatu menyengatku dari kepala, aku tahu itu. Aku bisa melihat tanah. Sesuatu terbakar. Bau hangus.
  Lalu aku turun. Jauh, jauh ke bawah. Menuju kegelapan. Bau bakar. Aku ingin pergi! Aku ingin keluar dari sini. Tiba-tiba sebuah tangan menarikku.

  Aku terbangun. Telanjang, di bawah hujan.

  "Oke, sekarang mana kueku?" Aku berbisik lemah sebelum beberapa polisi mengambilkanku selimut dan memapahku ke ambulans.





*

  "Are you sure you are okay, ma'am?" Pertanyaan itu terus-menerus diulang oleh seseorang sheriff di sebelahku.
  "I'm okay, alright? Now let me go home."
  "We will take you there, as soon as the treatment is over, Miss..." seorang sheriff perempuan membolak-balik halaman file yang dipegangnya.
  "Kate. Kate Georgia Jones."
  "Miss Kate."
  "I don't need any treatment. I told you I'm fine! It's just that my clothes and my cake is gone, that's it!" Aku masih sedikit bingung dengan apa yang terjadi dengan tubuhku, atau pengalamanku tadi, namun itu tidak akan berguna untuk mereka. Jadi aku diam saja.
  Mereka terlihat berunding sebentar. Akhirnya salah seorang sheriff menghampiriku. (ya, sekarang aku ada di kantor polisi, telanjang. Gila bukan?)
  "You may go home, with my assistance." Ia membukakan pintu mobil polisi untukku, lalu menunggu sampai aku duduk di dalamnya, lalu menutup pintunya. Setelah itu baru ia membuka pintu mobil pengemudi, dan duduk di dalamnya.
  "Don't you guys have any clothes? I mean, how can I turn up into my parents' house wearing only a frumpy blanket like this?" Ia diam saja. Ia berkendara dalam diam. "What time is it?" Aku melongokkan kepalaku ke depan. Ia tersentak sendiri.

  "12 a.m., ma'am." Aku tertegun.

  Saat kami tiba di rumah, aku mampu menjamin bahwa wajah ibuku saat itu benar-benar menyiratkan keterkejutan luar biasa. Ayahku tampak kalut. Sheriff itu hanya mengatakan bahwa aku tersambar petir dan selamat. (Serius? Tersambar petir? Tetapi memang saat itu aku tidak tahu penyebab hilangnya pakaian dan kueku.)
  Ibuku menangis. Ayahku memandangku simpatik.
  "I'm sorry to give you a bad birthday surprise, Mom." Aku memeluk ibuku lemah. "I swear I have actually bought a cake for your birthday, Mom. I swear that I wished I could be here right at midnight. But now the cake's gone." Setitik air mata bergulir di pipiku. Melihat ibuku bersedih, meski aku tidak tahu alasannya, membuatku sedih juga.
  "It's okay, honey. At least you are fine." Ibuku menyeka air matanya, sementara ayahku yang canggung menyiapkan susu hangat. "Change your clothes, drink some milk." Ibuku dengan enggan melepas pelukannya dariku, lalu membiarkanku mengganti pakaian di kamar.

*

  Esokannya, seseorang pria berpakaian jas mendatangi kami, mengaku dari kepolisian New York. Ia memintaku untuk di tes ulang di rumah sakit setempat karena pengalamanku, tersambar petir. Ia mengajukan sebuah hipotesis, bernama "Swampman" yang menurutku gila dan tidak berguna. Ia mengatakan bahwa ini hanya tes fisik sejenak belaka, dan akan berakhir pada akhir hari ini, jika aku "menyerahkan" diri saat itu juga.
  Dengan khawatir ibuku menyerahkanku ke pria itu (yang tidak berpakaian polisi, dan dengan kondisiku yang enggan "diserahkan" ke polisi) yang segera membawaku di dalam sedan hitam.

***

So, here it is! Thank you for reading. If you have any inputs, don't worry, just put it in the comments. I'd gladly read them. See you next time on the next set!

say it in your language.