Kate: Trap(eze)
Kotak-kotak berceceran di kamar
baruku. Aku memegang lengan atas tanganku, menatap dingin ibuku dan beberapa
orang yang memasukkan kotak terakhir ke dalam kamarku. Kamar yang baru. Di rumah
sakit.
Setelah orang-orang itu undur
diri, aku menatap ibuku awas sambil menendang-nendang pelan sebuah kotak di
tengah kamar, menggeserkannya pelan. Ibuku menatapku bersalah, lalu menunduk ke
bawah untuk memindahkan salah satu kotak kecil ke kabinet dapur.
“Mom, why do you have to do this?”
Aku menatap ibuku yang mengeluarkan isi kotak itu: peralatan makan, sambil
bergidik.
“I’m sorry, honey. I think this
is a good thing. You need to be hospitalized—“
“What? Hospitalized? Mereka pikir
aku babi percobaan, Ma!” Aku emosi.
“Bukan, mereka pikir kamu butuh
treatment khusus—“
“Mom! I’ve read the records and
it said that I AM FINE!” Suaraku meninggi. Ibuku berhenti menempatkan
garpu-garpuku di sebuah wadah kayu di atas kabinet dapur, dekat meja talenan.
“I know something is wrong, Kate!
There must be something, they said, with your consciousness—they said they will
treat you well, and everything will be okay, and that you are a great contribution
to science, to history—“ Ibuku berkata sabar, kalimatnya bergetar.
Aku memotongnya lagi. “But they
are confining me in this hell; in this—“ aku menunjuk ke arah seluruh ruangan:
sebuah “apartemen studio” luas bercat putih, dengan lantai kayu berpelitur
hangat, “—quiet hell.”
Sebenarnya ini
bukan apartemen—ruangan ini berada di dalam sebuah rumah sakit; sebuah
laboratorium rumah sakit, dan kamar ini didesain spesial untukku, beberapa
minggu setelah kedatanganku untuk mengecek kondisi kesehatanku setelah malam
naas itu. Setelah rekam kesehatanku keluar, mereka memutuskan untuk membawaku
ke tempat ini, dengan ancaman bahwa jika aku tidak melakukannya, aku digugat
tidak kooperatif dengan hukum. Aku sendiri tidak tahu kapan aku bisa keluar
dari tempat ini—kamar ini memang memiliki jendela-jendela besar yang mampu
kubuka (dan mungkin membantuku kabur) dan tingginya rendah, namun pemandangan
pohon-pohon lebat di depan jendelanya mampu membuatku bergidik. Belum lagi
kamera di setiap ujung kamarku (bahkan di kamar mandi, sial!) yang tentu saja
merekam gerak-gerikku.
Ibuku bergumam, “Lagipula, uang
yang mereka angsurkan mampu membayar uang kuliah adikmu…”
“Ma! Aku hanya butuh bekerja
semalam lagi, dan uang-uangku akan cukup untuk membayar sekolah semua
adik-adikku! Toh aku tidak akan pernah menggunakan tabunganku!” Aku menggertak.
Kakiku masih terpancang di tempat yang sama. Aku tidak percaya. Adikku bersekolah
di Stanford, berbeda denganku yang tidak melanjutkan kuliahku, namun banting
setir menjadi sekretaris di sebuah firma konsultan bisnis. Sebegitu terjepitkah
mereka?
Ibuku hanya terdiam, bahunya
tergetar. Aku tahu aku sudah berlebihan. Tetapi ini tidak adil! Aku ingin
kehidupanku kembali! Hidupku sudah lengkap, dan aku tidak ingin segalanya
hilang—lagi.
Segera setelah perdebatan keras
itu, ibuku meminta maaf dengan dingin lalu pergi. “Aku akan selalu menjengukmu;
mereka memperbolehkan keluarga dan beberapa temanmu untuk datang menjengukmu beberapa
kali sehari. Take care,” ibuku mengucapkan kalimat itu dingin sebelum ia
menutup pintu. Apa? Menjenguk? Mereka pikir aku pesakitan? Aku menendang sebuah
kotak besar sampai bergeser jauh sebelum duduk di atas sebuah sofa lebar
berwarna putih.
Aku benci semua ini.
***