Pages

Monday, April 15, 2013

Another Chance: Set 2

Kate: Trap(eze)


Kotak-kotak berceceran di kamar baruku. Aku memegang lengan atas tanganku, menatap dingin ibuku dan beberapa orang yang memasukkan kotak terakhir ke dalam kamarku. Kamar yang baru. Di rumah sakit.
Setelah orang-orang itu undur diri, aku menatap ibuku awas sambil menendang-nendang pelan sebuah kotak di tengah kamar, menggeserkannya pelan. Ibuku menatapku bersalah, lalu menunduk ke bawah untuk memindahkan salah satu kotak kecil ke kabinet dapur.
“Mom, why do you have to do this?” Aku menatap ibuku yang mengeluarkan isi kotak itu: peralatan makan, sambil bergidik.



“I’m sorry, honey. I think this is a good thing. You need to be hospitalized—“
“What? Hospitalized? Mereka pikir aku babi percobaan, Ma!” Aku emosi.
“Bukan, mereka pikir kamu butuh treatment khusus—“
“Mom! I’ve read the records and it said that I AM FINE!” Suaraku meninggi. Ibuku berhenti menempatkan garpu-garpuku di sebuah wadah kayu di atas kabinet dapur, dekat meja talenan.
“I know something is wrong, Kate! There must be something, they said, with your consciousness—they said they will treat you well, and everything will be okay, and that you are a great contribution to science, to history—“ Ibuku berkata sabar, kalimatnya bergetar.
Aku memotongnya lagi. “But they are confining me in this hell; in this—“ aku menunjuk ke arah seluruh ruangan: sebuah “apartemen studio” luas bercat putih, dengan lantai kayu berpelitur hangat, “—quiet hell.”  
Sebenarnya ini bukan apartemen—ruangan ini berada di dalam sebuah rumah sakit; sebuah laboratorium rumah sakit, dan kamar ini didesain spesial untukku, beberapa minggu setelah kedatanganku untuk mengecek kondisi kesehatanku setelah malam naas itu. Setelah rekam kesehatanku keluar, mereka memutuskan untuk membawaku ke tempat ini, dengan ancaman bahwa jika aku tidak melakukannya, aku digugat tidak kooperatif dengan hukum. Aku sendiri tidak tahu kapan aku bisa keluar dari tempat ini—kamar ini memang memiliki jendela-jendela besar yang mampu kubuka (dan mungkin membantuku kabur) dan tingginya rendah, namun pemandangan pohon-pohon lebat di depan jendelanya mampu membuatku bergidik. Belum lagi kamera di setiap ujung kamarku (bahkan di kamar mandi, sial!) yang tentu saja merekam gerak-gerikku.
Ibuku bergumam, “Lagipula, uang yang mereka angsurkan mampu membayar uang kuliah adikmu…”
“Ma! Aku hanya butuh bekerja semalam lagi, dan uang-uangku akan cukup untuk membayar sekolah semua adik-adikku! Toh aku tidak akan pernah menggunakan tabunganku!” Aku menggertak. Kakiku masih terpancang di tempat yang sama. Aku tidak percaya. Adikku bersekolah di Stanford, berbeda denganku yang tidak melanjutkan kuliahku, namun banting setir menjadi sekretaris di sebuah firma konsultan bisnis. Sebegitu terjepitkah mereka?
Ibuku hanya terdiam, bahunya tergetar. Aku tahu aku sudah berlebihan. Tetapi ini tidak adil! Aku ingin kehidupanku kembali! Hidupku sudah lengkap, dan aku tidak ingin segalanya hilang—lagi.
Segera setelah perdebatan keras itu, ibuku meminta maaf dengan dingin lalu pergi. “Aku akan selalu menjengukmu; mereka memperbolehkan keluarga dan beberapa temanmu untuk datang menjengukmu beberapa kali sehari. Take care,” ibuku mengucapkan kalimat itu dingin sebelum ia menutup pintu. Apa? Menjenguk? Mereka pikir aku pesakitan? Aku menendang sebuah kotak besar sampai bergeser jauh sebelum duduk di atas sebuah sofa lebar berwarna putih.

Aku benci semua ini.
***

say it in your language.