Pages

Thursday, April 18, 2013

Another Chance: Set 3


Kate: A Friend


“So, how is it?” Kalimat pertama yang terlontar dari mulut Gemma, asistenku di kantor. Menurutku, dia asisten terhebat yang pernah kulihat. Mungkin untuk perempuan seumurku dan lajang, mudah untuk membiasakan diri lembur dengan pekerjaan yang segambreng. Tetapi akan lebih sulit untuk Gemma. Gemma adalah ibu dari dua anak balita, bahkan salah satu di antaranya batita. Namun kerap kali ia harus menemaniku bekerja sampai malam, hingga lembur. Dan tak pernah sekalipun aku melihatnya mengeluh, kecuali senyum lelahnya.



Pagi ini ia datang membawa kotak berisi semua benda milikku di kantor. Mulai dari mug gemuk kebanggaanku hingga rak alat tulis yang kubuat sendiri untuk menolong beberapa rekan kerjaku yang sering meminta pinjaman bolpoin. Tidak ada sehelaipun berkas pekerjaanku, hanyalah secarik kertas bertuliskan bukti pemutusan kerjaku. Melihatnya aku malah depresi.
Aku sedang tidur bermalas-malasan di sofa sambil memakan sereal yang ibuku bawakan ketika Gemma mengetuk pintu. Semenjak aku “dikurung” di kamar ini, aku sudah terbiasa membiarkan pintuku tak terkunci, kecuali saat aku tidur. Toh saat aku sadar, orang-orang yang akan masuk adalah orang-orang yang sama. Namun kunjungan Gemma pagi itu menjadi kejutan buatku.
“How do you feel, Kate?” Gemma kembali mengulangi pertanyaannya sementara mengeluarkan isi kotakku.
“Why don’t you just let the things there?” Aku menunjuk ke barang-barang yang baru saja Gemma keluarkan. Mug. Pemberat kertas. Rak alat tulis. “I can fix them on my own, but I’m too lazy to do it now.” Aku kembali meringkuk di sofa dan menyuapkan sesendok sereal.
“It’s okay. You seem to be tired.” Gemma tersenyum. Kembali ia mengeluarkan barang-barangku di meja kopi di depanku. Frame foto berisi gambarku dan keluargaku. Lalu frame foto berisi gambar-gambar outing terakhir kami, dan seluruh karyawan.
“I’m not tired!” Aku menyela. Gemma tersenyum penuh arti. Terkadang aku kesal dengannya. Karena sifatnya yang seolah-olah tahu segalanya. “Eh, anyway, siapa yang jadi pengganti gue?” Aku tertawa penasaran. Gemma ikut tertawa.
“You might not believe it, but it’s Reynolds.” Gemma tertawa.
“Shit! That man surely is happy, finally getting my place! That should be you in my place, you know? You’re the best at it.” Aku tertawa pias, pahit. Sebaik dan sebanyak apapun gelar Reynolds di bidang manajemen, tetap saja ia tidak mengenali meja sekretaris layaknya aku dan Gemma. “And you, are his assistant?” Aku menatap menyelidik.
Gemma mengangguk enggan. Ia mulai duduk di atas karpet depan meja kopi, berseberangan denganku yang meringkuk malas di sofa.
“Whoa, be careful with that guy. He’s naturally an ass,” aku tertawa. “Jangan lembur dengannya. It’s a waste.” Aku berbisik pelan namun jenaka. Sudah lama semenjak terakhir aku bergosip seperti ini.
“I’ll have your word.” Gemma kembali tertawa, bahkan terbahak. “But seriously, how about you? I mean, working with Reynolds is crazier than working with you, but you don’t have to make it worse by not saying anything!” Gemma menatapku menyelidik.
“Don’t tell me you are also recruited by them to make me speak,” aku balas menatap Gemma menyelidik, “because I tell you, I won’t speak about it.”
“Kate, what happened to you? I’m worried about you too, you know.” Gemma menatapku bingung.
Aku menghela napas. “I wish I could ran out and tell you about it. But for now, I think the answer is, ‘I don’t know’,” aku menggumam. Gemma meraih tangannya melewati meja kopi dan mengelus lulutku pelan.
Setelah diam beberapa waktu, Gemma izin untuk kembali ke kantor. “Reynold is waiting,” ia tersenyum. “I’ll come here again tomorrow when you are feeling better,” lanjutnya sebelum menutup pintu.
Aku menghabiskan semangkuk serealku sebelum berjalan lemas ke dapur. Sangat membosankan. Ruangan apa lagi yang mampu kujelajahi? Toh sepertinya aku sudah resmi menjadikan seluruh sudut tempat ini seolah milikku.
Sampai aku melihat pintu cokelat berornamen itu.
***

say it in your language.