Kate: A Friend
“So, how is it?” Kalimat pertama
yang terlontar dari mulut Gemma, asistenku di kantor. Menurutku, dia asisten
terhebat yang pernah kulihat. Mungkin untuk perempuan seumurku dan lajang,
mudah untuk membiasakan diri lembur dengan pekerjaan yang segambreng. Tetapi akan
lebih sulit untuk Gemma. Gemma adalah ibu dari dua anak balita, bahkan salah
satu di antaranya batita. Namun kerap kali ia harus menemaniku bekerja sampai
malam, hingga lembur. Dan tak pernah sekalipun aku melihatnya mengeluh, kecuali
senyum lelahnya.
Pagi ini ia datang membawa kotak
berisi semua benda milikku di kantor. Mulai dari mug gemuk kebanggaanku hingga
rak alat tulis yang kubuat sendiri untuk menolong beberapa rekan kerjaku yang
sering meminta pinjaman bolpoin. Tidak ada sehelaipun berkas pekerjaanku, hanyalah
secarik kertas bertuliskan bukti pemutusan kerjaku. Melihatnya aku malah
depresi.
Aku sedang tidur bermalas-malasan
di sofa sambil memakan sereal yang ibuku bawakan ketika Gemma mengetuk pintu. Semenjak
aku “dikurung” di kamar ini, aku sudah terbiasa membiarkan pintuku tak
terkunci, kecuali saat aku tidur. Toh saat aku sadar, orang-orang yang akan
masuk adalah orang-orang yang sama. Namun kunjungan Gemma pagi itu menjadi
kejutan buatku.
“How do you feel, Kate?” Gemma
kembali mengulangi pertanyaannya sementara mengeluarkan isi kotakku.
“Why don’t you just let the
things there?” Aku menunjuk ke barang-barang yang baru saja Gemma keluarkan. Mug.
Pemberat kertas. Rak alat tulis. “I can fix them on my own, but I’m too lazy to
do it now.” Aku kembali meringkuk di sofa dan menyuapkan sesendok sereal.
“It’s okay. You seem to be tired.”
Gemma tersenyum. Kembali ia mengeluarkan barang-barangku di meja kopi di
depanku. Frame foto berisi gambarku dan keluargaku. Lalu frame foto berisi
gambar-gambar outing terakhir kami, dan seluruh karyawan.
“I’m not tired!” Aku menyela.
Gemma tersenyum penuh arti. Terkadang aku kesal dengannya. Karena sifatnya yang
seolah-olah tahu segalanya. “Eh, anyway, siapa yang jadi pengganti gue?” Aku
tertawa penasaran. Gemma ikut tertawa.
“You might not believe it, but it’s
Reynolds.” Gemma tertawa.
“Shit! That man surely is happy,
finally getting my place! That should be you in my place, you know? You’re the
best at it.” Aku tertawa pias, pahit. Sebaik dan sebanyak apapun gelar Reynolds
di bidang manajemen, tetap saja ia tidak mengenali meja sekretaris layaknya aku
dan Gemma. “And you, are his assistant?” Aku menatap menyelidik.
Gemma mengangguk enggan. Ia mulai
duduk di atas karpet depan meja kopi, berseberangan denganku yang meringkuk
malas di sofa.
“Whoa, be careful with that guy. He’s
naturally an ass,” aku tertawa. “Jangan lembur dengannya. It’s a waste.” Aku
berbisik pelan namun jenaka. Sudah lama semenjak terakhir aku bergosip seperti
ini.
“I’ll have your word.” Gemma
kembali tertawa, bahkan terbahak. “But seriously, how about you? I mean, working
with Reynolds is crazier than working with you, but you don’t have to make it
worse by not saying anything!” Gemma menatapku menyelidik.
“Don’t tell me you are also recruited
by them to make me speak,” aku balas menatap Gemma menyelidik, “because I tell
you, I won’t speak about it.”
“Kate, what happened to
you? I’m worried about you too, you know.” Gemma menatapku bingung.
Aku menghela napas. “I wish I could
ran out and tell you about it. But for now, I think the answer is, ‘I don’t know’,”
aku menggumam. Gemma meraih tangannya melewati meja kopi dan mengelus lulutku
pelan.
Setelah diam beberapa waktu,
Gemma izin untuk kembali ke kantor. “Reynold is waiting,” ia tersenyum. “I’ll
come here again tomorrow when you are feeling better,” lanjutnya sebelum
menutup pintu.
Aku menghabiskan semangkuk serealku
sebelum berjalan lemas ke dapur. Sangat membosankan. Ruangan apa lagi yang
mampu kujelajahi? Toh sepertinya aku sudah resmi menjadikan seluruh sudut
tempat ini seolah milikku.
Sampai aku melihat pintu cokelat
berornamen itu.
***