Pages

Monday, April 29, 2013

Rewind: Secarik Kertas

   In the midst of crazy and school, I scrabbled through all my past works to put in a competition. So I stumbled at this writing I made when I was in 8th grade. It always brought me tears, even until now. 

   So, I hope this opens your eyes too. Especially if you're a Christian.

***


Secarik Kertas


Tuhan menarikku ke "perpustakaan jiwa"Nya saat aku sedang bermain game.

Sambil mendudukkanku di sebuah kursi depan meja perpustakaanNya Ia bertanya, "jadi, apa yang kamu lakukan selama sebulan ini? Terakhir kali Aku ingat kamu menyumpahi dirimu sendiri karena tidak bisa mengatur waktu." Ia terlihat menghela napas dengan raut antara sedih dan kesal.

Aku tak berani menatap lekat-lekat wajahNya. Kutundukkan kepalaku. Aku kabur entah kemana setelah insiden bangun pagi itu. Setelah itu? Aku selalu tidur pagi mengerjakan hal yang tidak jelas. Sebentar lagi akan ada ujian. Tuhan sepertinya sedang memberikanku kesempatan untuk kembali pulang. Tetapi aku merasa canggung sendiri. Apa ini egois?

Rupanya Tuhan menungguku. Kujawab, "banyak tugas Tuhan. Aku tak sempat bertemu denganMu. Tenang, aku baik-baik saja." Kepalaku agak menengadah melihat ke arahNya yang sedang berdiri untuk mengambil suatu benda dari sekian banyak laci "arsip jiwa".

DiambilNya secarik kertas kotor, lecek, kusam, dan sedikit berlumpur. Tuhan menggelar kertas itu dihadapanku. Aku mencoba menjauhkan diri dari kertas itu.

"Kuperhatikan, inilah keadaanmu sehari ini. Kertas ini milikmu. Ada apa denganmu?" Tuhan bertanya. Aku melongo tak menyangka bahwa ini milikku. Kotornya, baunya, ih! Aku tidak mungkin separah ini.

"Itu benar-benar milikmu," kata Tuhan yang (pasti) membaca pikiranku. Tapi aku masih bingung. Aku tidak membunuh. Aku tidak memfitnah. Aku tidak mendengarkan Lady Gaga. Aku tidak melakukan kesalahan fatal, bukan?

"Jangan pernah jauh dariKu. Nanti kamu terus terjatuh dan menghancurkan dirimu sendiri." Kurogoh sakuku mencari penghapus serbaguna sementara Tuhan mengucapkan kalimat itu. Setelah kukeluarkan, pelan-pelan kuhapus kotoran yang menempel.

"Apa yang sedang kamu lakukan dengan kertas itu?" Tuhan bertanya. Aku masih terus menghapus hingga mataku bercucuran air mata karena kesal. Bukannya semakin bersih, kertasnya malahan semakin kotor.

"Butuh pertolongan?" Tuhan bertanya. "Mintalah maka kamu akan diberi."

Aku mengangguk pelan, meminta maaf, dan memohon bantuan. Tuhan tersenyum. Ia mengambil secarik kertas lagi dari laci arsipNya. TanganNya tergores dan luka saat Ia memberikannya untukku. Ia robek kertasku yang lama, tersenyum, lalu menuliskan satu kalimat didalam kertasku yang baru dengan darah dari lukaNya.

I love you.

Aku menangis.
Belakangan baru kuketahui bahwa laci asal kertas kotor itu berlabelkan namaku, dan laci asal kertas bersih itu berlabelkan nama Yesus.

say it in your language.